ARSIP BULANAN : December 2014

Renungan tuk kita

22 December 2014 16:57:55 Dibaca : 1130

Seorang anak bertengkar dengan ibunya dan meninggalkan rumah.

Saat berjalan ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.

Ia melewati sebuah kedai bakmi. Ia ingin sekali memesan semangkok bakmi karena lapar.

Pemilik bakmi melihat anak itu berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu bertanya”Nak, apakah engkau ingin memesan bakmi?”

“Ya, tetapi aku tidak membawa uang,”jawab anak itu dengan malu-malu.

”Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu,”jawab si pemilik kedai.

Anak itu segera makan. Kemudian air matanya mulai berlinang.

”Ada apa Nak?”Tanya si pemilik kedai.

”Tidak apa-apa, aku hanya terharu karena seorang yg baru kukenal memberi aku semangkuk bakmi tetapi ibuku sendiri setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah. Kau seorang yang baru kukenal tetapi begitu peduli padaku.

Pemilik kedai itu berkata”Nak, mengapa kau berpikir begitu? Renungkan hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi&kau begitu terharu…. Ibumu telah memasak bakmi, nasi, dll sampai kamu dewasa, harusnya kamu berterima kasih kepadanya.

Anak itu kaget mendengar hal tersebut.”Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu?” Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal aku begitu berterima kasih, tetapi terhadap ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun,aku bahkan tidak peduli. Anak itu segera menghabiskan bakminya lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang.

Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika melihat anaknya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Nak, kau sudah pulang, cepat masuk, aku telah menyiapkan makan malam.”

Mendengar hal itu, si anak tidak dapat menahan tangisnya dan ia menangis di hadapan ibunya.

Kadang kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain untuk suatu pertolongan kecil yg diberikannya pada kita. Namun kepada orang yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita sering melupakannya begitu saja.

Untold History of Pangeran Diponegoro 16

11 December 2014 16:20:12 Dibaca : 2080

Residen Yogyakarta ini kemudian berteriak agar prajurit jaga memanggil Patih Danuredjo, “Panggil itu patih ke sini menghadapku!”

Suryo Widhuro, sang prajurit penjaga kamar kepatihan, segera menghadap, “Inggih, Tuan Residen.”

Tak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh Patih Danuredjo datang ke ruangan di mana Smissaert berada. Baginya, panggilan dari residen Belanda merupakan panggilan yang sangat penting. Melihat wajahnya yang kusut, Danuredjo sepertinya juga baru terbangun dari mimpinya.

“Ada apa Tuan Residen memanggil saya pagi-pagi begini?”

“Diponegoro marah. Kowe harus baca itu surat!” ujar Belanda itu sambil melemparkan sebuah gulungan surat yang sudah terbuka segelnya. Patih Danuredjo dengan sigap menangkap gulungan surat itu dan membukanya. Wajahnya kemudian terlihat berseri-seri.

“Ha.. ha.. ha.. Ini bagus. Apa aku bilang. Dia marah besar. Sebaiknya orang kita memeriksa patok-patok yang ada di tanah makam itu sekarang juga. Jika dirusak, kita pasang lagi. Dan pagi ini juga kita panggil Diponegoro untuk menghadap kesini untuk menjelaskan tentang surat ini. Dia meminta Tuan untuk memecat saya. Ini sudah makar! Kita tangkap saja orang itu di sini!”

Smissaert mengangguk-angguk, “Well, kowe benar-benar pintar Danuredjo! Ya, periksa patok-patok itu sekarang dan kita panggil Diponegoro ke sini segera.”

Danuredjo ikut mengangguk dan terdiam. Biasanya, jika sedang demikian, orang itu tengah memikirkan sesuatu atau menyusun rencana. Benar saja. Tiba-tiba dia menyebut Pangeran Mangkubumi.

“Tuan Residen, Diponegoro masih sangat menghormati Pangeran Mangkubumi. Aku juga curiga dengan orang itu. Bagaimana kalau Mangkubumi saja yang kita suruh untuk menghadap Diponegoro dan menyampaikan undangan kita itu.”

“Bagus, itu juga rencana yang bagus.”

“Ya, saya takut kalau kita kirim kurir biasa, pemimpin pemberontak itu tidak akan mau datang.”

“Baiklah, kowe atur saja. Yang penting segera undang itu pemberontak Diponegoro ke sini menghadap kita. Kita tawarkan saja jabatan di kraton ini. Jika dia menolak ya tangkap saja.”

“Jabatan di kraton?” tukas Danuredjo agak curiga.

Smissaert terkekeh, “Jangan takut Patih, kowe tidak perlu cemas seperti itu…”

Danuredjo mengangguk-angguk tanda senang. “Ya, Tuan Residen. Saya tahu itu. Tapi menurut hemat saya, kita juga harus tetap menyiagakan pasukan, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak kita duga.”

“Benar juga katamu. Kalau begitu panggil saja Chevallier ke sini. Di mana dia sekarang? Dan jangan lupa, kita panggil juga si Mangkubumi…” []

Bab 10

NUSANTARA ADALAH TEMPAT DI MANA ALLAH menitipkan sebagian kekayaan surga-Nya. Tanah dan air Nusantara teramat subur. Kekayaan alamnya berlimpah-ruah. Udaranya bersih dan iklimnya bersahabat. Letak Nusantara juga paling strategis di antara tempat di mana pun di dunia, di pandang dari segi apa pun. Inilah yang menyebabkan negeri ini sejak berabad lalu hingga sekarang menjadi rebutan kaum imperialisme dan kolonialis dunia, seperti halnya kafir Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, dan sekarang Belanda.

Ironisnya, walau turun-temurun telah menjadi penghuni wilayah yang sangat istimewa ini, rakyat Nusantara dari tahun ke tahun bukannya bertambah makmur dan sejahtera, malah bertambah miskin dan melarat. Belanda mengatakan jika hal itu disebabkan kemalasan dari orang-orang pribumi. Namun bagi Diponegoro, tudingan itu sama sekali tidak berdasar. Sebagai orang yang tumbuh besar bersama rakyat, dia tahu jika sejak sinar matahari menyingsing, sudah banyak orang-orang pribumi yang pergi ke sawah dengan cangkulnya, dan ada pula yang pergi ke pasar untuk menjual hasil bumi, atau menjual jasa sebagai tenaga angkut. Dan mereka baru berhenti atau pulang ketika matahari sudah jauh condong ke barat.

Bangsa ini adalah bangsa yang sangat rajin dan pekerja keras, namun jika bangsa yang seperti ini malah menjadi miskin dan melarat, maka pasti ada sesuatu yang salah dengan sistem kekuasaan yang ada.

Bagi seorang Diponegoro, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan bangsanya dari kemiskinan adalah dengan mengusir penguasa kafir dari Nusantara dan menginsyafkan orang-orang pribumi yang sudah menjadi pelayan setianya. Thagut harus ditumbangkan dan dihancurkan, diganti dengan sistem sosial dan kemasyarakatan yang berkeadilan. Bukannya dengan mendekati thagut. Hal itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan berlandaskan akidah yang kuat, lurus dan benar, dan sama sekali tidak bisa bekerjasama atau berkoalisi dengan Thagut atau kemungkaran.

“Kanjeng Pangeran…,” tiba-tiba Ki Singalodra sudah berdiri di sampingnya. Lelaki kekar dengan jambang dan janggut yang lebat ini-sehingga sangat mirip dengan seorang Warok Ponorogo-sekarang wajahnya terlihat lebih bersih dan rapi. Pangeran Diponegoro yang tengah berdiri melihat sawah yang membentang di hadapannya dengan latar belakang Gunung Merapi, menoleh ke samping. Ketika mengetahui siapa yang datang, Pangeran tersenyum.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ki Singalodra..”

“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Kanjeng Pangeran…”

“Ada apa, Kisanak?”

Ki Singalodra menundukkan kepalanya.

“Kanjeng Pangeran… Terima kasih sudah menerima saya sebagai bagian dari barisan ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika Kanjeng Pangeran nantinya tidak berkenan…”

“Katakan saja, Ki…”

“Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Biarkan saya menjaga Kanjeng Pangeran setiap waktu…”

Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu Ki Singalodra. “Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta’ala, Kisanak…”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya menjadi perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta’ala untuk menjaga diri Kanjeng Pangeran…”

“Terima kasih, Ki Singalodra… Apa yang menyebabkan Kisanak hendak menjadi pengawal utamaku…”

Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap ke sawah dan Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi alis yang tebal terlihat basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu berkata lirih, “Aku ingin cepat-cepat menggapai syahid fi sabilillah. Aku ingin cepat-cepat berkumpul kembali dengan isteri dan anakku di surga. Bukankah orang yang syahid akan membawa syafaat kepada keluarganya kelak?”

Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan haru mendengar pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki Singalodra yang masih terisak. Orang itu agaknya benar-benar memendam rindu yang teramat sangat kepada isteri dan anak satu-satunya.

“Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang sekarang sudah hidup bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di mana Kisanak bisa berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu hadits Nabi shalallahu wa’allaihi wasalam yang diriwayatkan dengan baik oleh Nasai, Rasululllah bersabda bahwa pada hari kiamat, anak-anak kecil akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah ke surga.’ Maka mereka mengatakan,'(Saya akan masuk) sehingga bapak-bapak kami masuk (juga) ke surga.’ Lalu dikatakan kepada mereka,’Masuklah kalian dan bapak-bapak kalian ke surga. Jadi anak Kisanak itu sudah menunggu Kisanak di pintu gerbang surga. Janganlah cemas…”

Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur’an berkenaan dengan syahid fisabilillah. Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, “Janganlah kalian berkata bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.” Lalu juga surat Ali Imron ayat 169.

“Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid, maka dia akan dapat memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota keluarganya. Itu janji Rasulullah yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat meraih syahid itu. Izinkan saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan teman-teman, pintu-pintu surga sebentar lagi akan membentang di depan mata. Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak. Perjalanan Kanjeng Pangeran masih panjang. Kanjeng Pangeran harus membebaskan negeri ini dahulu dari tangan kaum kafir dan para pelayannya sebelum menemui syahid. Sebab itu izinkanlah saya mengawal Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran bisa menunaikan tugas dengan paripurna…”

Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah. Hidayah bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa mengubah seorang jagoan yang tangannya berlumuran darah seperti Ki Singalodra menjadi Singa Allah yang telah bertekad untuk menghibahkan jiwa dan raganya semata-mata di jalan Allah. Suatu perniagaan yang tidak akan pernah merugi hingga akhir dunia.

“Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku melawan kafir Belanda?” 
Bersambung