ARSIP BULANAN : September 2014

pulpen menyebabkan kematian

19 September 2014 15:50:40 Dibaca : 1958

Hilang pulpen itu sangat berbahaya bagi anak Kuliahan, simak di bawah ini

 

Hilang pulpen = Ga ada pulpen


Ga ada pulpen = Ga ada catatan


Ga ada catatan = Ga belajar


Ga belajar = Ga lulus


Ga lulus = Ga ada ijazah


Ga ada ijazah = Ga kerja


Ga kerja = Ga ada uang


Ga ada uang = Ga ada makanan


Ga ada makanan = Jadi kurus


Jadi kurus = Jadi jelek


Jadi jelek = Ga ada cinta


Ga ada cinta = Ga menikah


Ga menikah = Ga ada anak


Ga ada anak = Sendiri


Sendiri = Depresi


Depresi = Bunuh Diri


Bunuh Diri = Ber Dosa


Berdosa = Masuk Neraka.

 

JAGA SELALU PULPEN ANDA, KEHILANGAN
PULPEN BISA MENYEBABKAN KEMATIAN!!!

Manajemen Pemasaran

19 September 2014 15:14:27 Dibaca : 1057

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Manajemen Pemasaran adalah salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan perusahaannya, berkembang, dan mendapatkan laba. Proses pemasaran itu dimulai jauh sebelum barang-barang diproduksi, dan tidak berakhir dengan penjualan. Kegiatan pemasaran perusahaan harus juga memberikan kepuasan kepada konsumen jika menginginkan usahanya berjalan terus, atau konsumen mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap perusahaan (Dharmmesta & Handoko, 1982).

Secara definisi, Manajemen Pemasaran adalah penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program yang bertujuan menimbulkan pertukaran dengan pasar yang dituju dengan maksud untuk mencapai tujuan perusahaan (Kotler, 1980).

Perusahaan yang sudah mulai mengenal bahwa pemasaran merupakan faktor penting untuk mencapai sukses usahanya, akan mengetahui adanya cara dan falsafah baru yang terlibat di dalamnya. Cara dan falsafah baru ini disebut "Konsep Pemasaran".

Sumber

Sistem informasi akuntansi

17 September 2014 09:52:14 Dibaca : 1603

Brain

16 September 2014 08:35:56 Dibaca : 1670

The brain is an organ that serves as the center of the nervous system in all vertebrate and most invertebrate animals—only a few invertebrates such as sponges, jellyfish, adult sea squirts and starfish do not have a brain, even if diffuse neural tissue is present. It is located in the head, usually close to the primary sensory organs for such senses as vision, hearing, balance, taste, and smell. The brain is the most complex organ in a vertebrate's body. In a typical human, the cerebral cortex (the largest part) is estimated to contain 15–33 billion neurons,[1] each connected by synapses to several thousand other neurons. These neurons communicate with one another by means of long protoplasmic fibers called axons, which carry trains of signal pulses called action potentials to distant parts of the brain or body targeting specific recipient cells.

Physiologically, the function of the brain is to exert centralized control over the other organs of the body. The brain acts on the rest of the body both by generating patterns of muscle activity and by driving the secretion of chemicals called hormones. This centralized control allows rapid and coordinated responses to changes in the environment. Some basic types of responsiveness such as reflexes can be mediated by the spinal cord or peripheral ganglia, but sophisticated purposeful control of behavior based on complex sensory input requires the information integrating capabilities of a centralized brain.

From a philosophical point of view, what makes the brain special in comparison to other organs is that it forms the physical structure associated with the mind. As Hippocrates put it: "Men ought to know that from nothing else but the brain come joys, delights, laughter and sports, and sorrows, griefs, despondency, and lamentations."[2] Through much of history, the mind was thought to be separate from the brain. Even for present-day neuroscience, the mechanisms by which brain activity gives rise to consciousness and thought remain very challenging to understand: despite rapid scientific progress, much about how the brain works remains a mystery.[3] The operations of individual brain cells are now understood in considerable detail, but the way they cooperate in ensembles of millions has yet to be solved. The most promising approaches treat the brain as a biological computer, very different in mechanism from an electronic computer, but similar in the sense that it acquires information from the surrounding world, stores it, and processes it in a variety of ways, analogous to the central processing unit (CPU) in a computer.

This article compares the properties of brains across the entire range of animal species, with the greatest attention to vertebrates. It deals with the human brain insofar as it shares the properties of other brains. The ways in which the human brain differs from other brains are covered in the human brain article. Several topics that might be covered here are instead covered there because much more can be said about them in a human context. The most important is brain disease and the effects of brain damage, covered in the human brain article because the most common diseases of the human brain either do not show up in other species, or else manifest themselves in different ways.

Sumber

Kisah Nomophobia Si Pecandu Gadget

08 September 2014 16:48:43 Dibaca : 874

Jakarta - Jika kita memperhatikan sekitar, terutama saat menggunakan transportasi umum, maka akan ditemukan fenomena menarik. Baik kita mengamati di stasiun commuter line, busway, kereta api, terminal antara propinsi, ataupun bandara, akan jamak kita temui orang-orang yang asik dengan gadgetnya masing-masing.

Bermain dengan smartphone dan tablet, seakan-akan lebih mengasyikkan daripada berdiskusi dengan orang lain. Satu hal yang ironis, dalam kumpul keluarga, ternyata setiap anggotanya banyak yang asik dengan gadgetnya, bukan ngobrol dengan keluarga sendiri.

Seakan, gadget sudah menjadi semacam 'fetish' yang menarik seluruh kesadaran mereka. Apakah yang terjadi?

Nomophobia di mana-mana

Nomophobia (no mobile phone phobia) adalah istilah baru, yang berarti ketakutan akan dipisahkannya pengguna dengan gadget kesayangannya. Istilah ini diperkenalkan oleh peneliti dari Inggris.

Adapun, di luar negeri sudah banyak penelitian mengenai nomophobia. Yang paling banyak dikutip adalah penelitian oleh securenvoy, sebuah perusahaan IT di Inggris. Menurut penelitian mereka, dari 1.000 responden yang menjawab polling mereka, sekitar 66 persen memiliki rasa takut kehilangan atau terpisah dari ponsel mereka.

Sementara lebih dari 41 persen memiliki lebih dari satu smartphone. Hal ini memprihatinkan, karena beberapa tahun yang lalu, survey serupa menyatakan bahwa hanya 53 persen responden yang takut kehilangan gadget mereka, sekarang angka itu naik ke 66 persen.

Survei yang tak kalah menarik dilakukan oleh Chicago Tribune, di Amerika Serikat, dimana lebih dari 40 persen responden menyatakan 'lebih baik tidak gosok gigi selama seminggu daripada pergi tanpa smartphone'.

Ada juga survei yang dilakukan oleh 11Mark, yang menyatakan bahwa 75 persen responden menggunakan smartphone di kamar mandi. Namun, tidak hanya Amerika Serikat dan Inggris saja yang terkena gangguan mental ini, namun juga Australia.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cisco di Australia, 9 dari 10 orang berusia dibawah 30 tahun mengakui mengalami nomophobia. Survei tersebut dilakukan terhadap 3800 pemakai smartphone.

Bagaimana dengan di Indonesia? Memang sampai sekarang belum ada data yang pasti. Namun, di Asia sendiri, nomophobia telah menjadi ancaman nyata. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan di India, 45% dari responden mengalami nomophobia.

Namun menurut Dr Sanjay Dixit, seorang psikiater yang juga penelilti riset tersebut, nomophobia belum dimasukkan dalam kategori 'phobia' secara resmi oleh buku teks Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.

Meski demikian, menurut Dr Dixit, semakin banyaknya pengguna gadget yang nomophonia dapat saja mencapai skala epidemik.

Nah, apa saja efek dari nomophobia? Menurut riset-riset tersebut, efek yang terjadi boleh dibilang tidak jauh berbeda dengan social disorder lain yang pernah didokumentasikan. Di antaranya:

1. Komunikasi antar manusia secara tatap muka jadi makin jarang
2. Generasi muda kini lebih suka berkomunikasi via gadget (email, chatting, Twitter, Facebook), daripada tatap muka langsung.
3. Orang jadi jarang mengamati lingkungan sekitar, karena lebih tenggelam dengan gadgetnya. Akibatnya, rasa peduli pada sekitar berkurang, justru lebih mempedulikan isu-isu di socmed dari gadgetnya.
4. Manusia dapat saja teralineasi oleh mesin. Masih ingat film wall-e dimana robot melayani manusia yang menjadi pemalas? Pada saat itu, manusia akan menjadi apatis dan anti sosial.

Gadget, sebagai 'fetish' baru, telah menjadi semacam 'dewa' baru yang dipuja-puji. Hal ini menarik, karena di masa lalu, ketergantungan terhadap teknologi yang begitu masif seperti sekarang ini sama sekali tidak pernah terjadi.

Sampai 30-20 tahun yang lalu, teknologi tinggi hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Namun, sekarang ini, hampir semua orang dapat menggunakan media sosial dari gadget mereka. Mengapa? Sebab dengan smartphone seharga tidak sampai sejuta rupiah, maka fitur media sosial dan chatting sudah dapat digunakan.

Menghindari dan Mengobati Nomophobia

Apa yang harus kita lakukan untuk terhidar dari nomophobia? Salah satu yang dapat dilakukan adalah disiplin dengan gadget. Kita seyogyanya membiasakan waktu tertentu dimana pertemuan keluarga 'disterilkan' sama sekali dari gadget, supaya ada diskusi yang hangat dan bermakna.

Gadget adalah ciptaan manusia, sehingga jangan sampai kita diperbudak olehnya. Kemudian, salah satu aktivitas yang dapat mengurangi nomophobia adalah mengintensifkan kegiatan outdoor, seperti rekreasi alam, dan olahraga secara teratur.

Satu hal yang tak kalah penting, sebagai orang yang beragama, maka mengintensifkan ibadah dan terlibat secara intens pada pertemuan jemaat atau umat dapat mengurangi tendensi anti sosial yang timbul dari nomophobia.

Jika ketergantungan sudah parah dan mengganggu, konsultasi dengan ahlinya, dalam hal ini psikolog dan psikiater, sama sekali bukan opsi yang ditabukan. Mereka dapat memberikan saran dan terapi untuk mengurangi ketergantungan terhadap gadget. SUMBER

Tentang penulis