Mengenal Allah Dengan Filsafat
Sampai sekarang masih banyak orang Islam dan para ulama konservatif yang menolak keberadaan filsafat, terutama
filsafat cabang metafisika sebagai jalan untuk mengenal Allah. Mereka menganggap bahwa filsafat dapat menyesatkan
dan tidak diperlukan bahkan ada pula yang mengharamkan mempelajari filsafat metafisika karena ia dapat
menjerumuskan seseorang menuju kekafiran.
Asumsi di atas menjadi semakin menemukan justifikasinya manakala mereka mendengar banyak atau ada beberapa
mahasiswa IAIN atau UIN jurusan akidah filsafat yang tidak lagi mau mengerjakan shalat lima waktu karena
menganggap shalat tidak diperlukan lagi dan Tuhan tidak perlu disembah. Bahkan ada pula yang mulai ragu apakah
tuhan benar-benar ada ataukah ia hanya hasil rekayasa atau ciptaan manusia.
Kitab yang ditulis oleh Syaikh Nadim al Jisr, mantan Mufti Tarabuls, Lebanon Selatan ini agaknya ditujukan untuk
menghilangkan asumsi bahwa filsafat metafisika bertentangan dengan agama dan bisa menyebabkan kekufuran. Ia
ingin menunjukan bahwa filsafat sebenarnya dapat menuntun seseorang untuk mengenal Allah dengan keyakinan yang
mantap asalkan filsafat itu dikaji dengan mendalam dengan ungkapan yang jelas ia mengatakan bahwa filsafat itu lautan
yang tidak sama dengan lautan yang lain. Seseorang akan menemukan bahaya dan tersesat apabila ia dipinggirnya.
Keamanan dan pencapaian iman justru terdapat ditengah kedalaman filsafat itu.
Untuk membuktikan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama atau al Qur’an maka Syaikh Nadim
mengajukan karyanya ini secara sistematis dan menguraikan persoalan-persoalan filsafat metafisika secara runtut dan
mendalam. Ia menguraikan pemikiran filsafat metafisika mengenai asal usul penciptaan yang dimulai dari pemkiran para
filosof Yunani kuno hingga filosof Muslim dan dilanjutkan dengan pemikiran para filosof modern. Dengan tekun dan
sabar, ia menyajikan semua pendapat di atas secara urut kronologis-historis, di mana pembaca karya ini akan menarik
suatu kesimpulan yang tak terbantahkan bahwa filsafat, khususnya metafisika tidak bertentangan dengan agama atau al
Qur’an.
Kitab ini dimulai dengan mengambil setting cerita tentang seorang pemuda yang bernama Hairan Bin Al Adh’af Al
Punjabi, seorang mahasiswa Universitas Pesawar. Ia seorang pemuda yang sangat haus tentang ilmu pengetahuan dan
berfikir seperti cara berfikir filsafat yang selalu ingin mengkaji asal usul dan hakikah segala sesuatu mengapa ia ada, dan
apa hikmah serta penciptaanya. Hairan selalu bertanya kepada gurunya juga teman-temannya tentang alam semesta, ia
bertanya kenapa alam ini diciptakan, kapan diciptakan, dari apa, siapa yang menciptakan, dan bagaimana ia
menciptakannya. Pertanyaan–pertanyaan filosofis di atas membuat ia diejek dan dicemooh
teman–temanya. Sebagaian dosennya pun mengatakan bahwa ia bukanlah orang yang sedang menuntut ilmu
agama melainkan orang yang sok berfilsafat.
Semua ejekan dan bentakan tidak membuatnya patah semangat mempelajari filsafat akan tetapi justru menguatkan
keyakinannya bahwa hakikat yang ia lihat hanya dapat diketahui dengan filsafat. Oleh karena itu iapun tenggelam dalam
mempelajari buku-buku filsafat. Meski demikian pihak Universitas telah menganggap fenomena Hairan ini sebagai
penyakit akut yang harus diamputasi sebelum menyebar dan menjalar kepada mahasiswa yang lain. Oleh karena itu
pihak universitaspun memecatnya dan ia dikeluarkan dari kampus.
Berita pemecatan Hairan bagaikan petir yang menggelegar bagi sang ayah. Sang ayah kemudian menasehatinya agar
meninggalkan filsafat dan menekuni ilmu agama terlebih dahulu. Sang ayah kemudian menunjukan gurunya yang
bernama Abu An Nur Al Mauzun jika ia ingin mempelajari hakikat filsafat. Tanpa berfikir panjang Hairan kemudian pergi
ke Khartank, Samarkan, suatu desa kecil di mana Syaikh sedang menghabiskan usia tuanya untuk berkhalwat di masjid
dan dekat dengan imam Bukhari. Akhirnya Hairan mendapat bimbingan dan petunjuk dari sang Guru dalam mempelajari
filsafat. Untuk mengenal Allah ada tiga tahapan yang digunakan Syaikh Al Mauzun.
Pertama, pendekatan filsafat. Kedua, mengkaji hasil informasi sains dan ilmu pengetahuan. Ketiga, melalui al
Qur’an. Terasa agak aneh memang kenapa pendekatan Al Qur’an justru pada tahapan terakhir bukan
yang pertama seperti yang biasa dilakukan ulama-ulama tradisional yang lebih suka secara langsung menggunakan dalil-
dalil al Qur’an atau Sunnah dalam mengajarkan tauhid. Metode yang digunakan Syaikh Al Mauzun ini agaknya
sengaja digunakan sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa untuk mengenal Tuhan, manusia dapat menggunakan
akalnya tanpa harus terlebih dahulu dibimbing oleh wahyu. Untuk itu sang guru membawa Hairan menelaah dan
menelusuri pandangan para filosof Yunani kuno mengenai wujud Allah dan asal usul penciptaan alam semesta.
Syaikh Al Mauzun menjelaskan bagiamana Thales mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah air. Bagi Thales dan
semua filosof, dunia ini tidak mungkin diciptakan dari murni ketiadaan. Dan sudah pasti ada asal usulnya. Pada
dasarnya permulaan segala sesuatu adalah perubahan. Karena itu harus ada materi azali yang menjadi asal usul segala
sesuatu. Dan materi azali itu adalah air. Karena air bisa menerima perubahan. Air bisa beku dan bisa mencair, bisa
menguap, dan kembali menjadi air. Dan air adalah syarat kehidupan. Lalu Aneximenes mengatakan asal usul
penciptaan adalah udara, bukan air. Aneximender mengatakan asal usul segala sesuatu harus berasal dari sesuatu
yang tidak berbentuk, tidak ada kesudahanya dan tidak terbatas. Air memiliki sifat-sifat tersendiri. Begitu pula udara. Dan
semua yang ada juga memiliki sifat tersendiri juga. Oleh karena itu tidak mungkin semua benda yang memiliki
keanekaragaman sifat berasal dari satu materi. Konsepsi Anaximender ini mirip konsep ‘laisa kamitslihi
syai’un’. Hanya saja ia masih menyebut materi yang tidak terbatas dan berkesudahan dan Tuhan
bukanlah materi. Asal usul segala sesuatu haruslah berupa bilangan dan kita menghitung angka satu demi satu maka
asal usul segala sesuatu haruslah yang satu, kata Pitagoras (2830).
Demikianlah seterusnya pendapat Democritos, Aristoteles, Socrates, Plato, dan para filosof kuno dikaji satu demi satu.
Agaknya Syaikh al Mauzun ingin menunjukan pada pembaca betapa pemikiran manusia tentang Tuhan sudah
berkembang sejak zaman dahulu dan dengan akalnya pula manusia dapat menemukan adanya Tuhan yang
menciptakan dan menjadi asal usul segala sesuatu. Setelah mempelari pemikiran filosof Yunani kuno, Syaikh Al Mauzun
mengajak Hairan untuk menelaah pendapat para filosof Muslim seperti al Farabi, Ibnu Sina, dan Ar Razi tentang
pembuktian adanya Allah sebagai pencipta alam semesta. Sang Syaikh juga menolak pendapat yang mengatakan
bahwa para filosof muslim itu memiliki iman yang lemah. Justru menurutnya mereka adalah orang-orang yang memiliki
akidah yang sangat kuat kepada Allah karena mereka menggabungkan iman kepada wahyu dengan penalaran akal
sehat. Penggabungan ini bagaikan cahaya di atas cahaya. Tidak lupa sang Syaikh mengajak Hairan untuk
membandingkan pendapat al Ghazali dengan Kant dan Descartes dan melihat adanya titik temu pendapat di antara
mereka. Tidak ketinggalan pula bagaimana pendapat Ibnu Rush, Al Ma’ari dan Ibnu Khaldun dikaji secara
mendalam. Ia juga menjelaskan mengapa ada orang seperti al Ghazali yang mengkafirkan filosof Muslim seperti Ibnu
Sina dan Al Farabi. Menurutnya hal itu disebabkan adanya perbedaan konsepsi mengenai Qidam al Alam antara
mereka. Setelah mempelajari filosof muslim mengenai pembuktian Allah maka Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan
mengkaji pendapat filosof modern seperti Thomas Aquinas, Bacon, Descartes, Pascal, Spinoza,
Lock, dan David Hume mengenai hakikat wujud. Banyak di antara mereka memiliki kesamaan pandangan dengan filosof
muslim. Pascal, seperti halnya al Farabi dan Ibnu Sina mengatakan bahwa akal fitrah manusia dapat menemukan
adanya Allah sebagai pencipta akan tetapi akal manusia tidak akan mampu memahami hakikat wujud penciptaan dan
pencipta. Karena akal manusia terbatas untuk mencapainya (131).
Setelah mengkaji filsafat, Syaikh al Mauzun mengajak Hairan untuk memahami ilmu pengetahuan dan sain. Mereka
mengkaji benda-benda langit laut, tumbuh –tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Semuanya bertasbih kepada
Allah. Semuanya itu terjadi bukan karena kebetulan. Menurut Syaikh Al Mauzun tidaklah dapat diterima oleh akal bahwa
keberaturan, keseimbangan, ketelitian, serta keindahan yang ada dialam semesta ini terjadi dan tercipta secara
kebetulan.
Setelah mengkaji sain dan ilmu pengetahuan, Syaikh Al Mauzun mengajak Hairan membaca Ayat-ayat Al Qur’an
yang berkait dengan sain dan ilmu pengetahuan. Dan ia berpesan agar Hairan senantiasa membaca ayat-ayat itu
sehingga apa yang tampak wujud dialam semesta ini akan senantiasa bisa dikaitkan dengan Al Qur’an.
Membaca karya putra pengarang kitab al Hushun Al Hamidiyah ini memang sangat mengasyikkan dan membacanyapun
perlu ketekunan, kesabaran, terutama bagi yang tidak terbiasa dengan persoalan –persoalan filsafat. Akan tetapi
kontribusi terbesar dan sangat layak untuk diapresiasi adalah ia berhasil menunjukan bahwa antara filsafat khususnya
filsafat metafisika, sains dan ilmu pengatahuan dan al Qur’an tidak ada pertentangan. Justru filsafat dapat
menghantarkan seseorang untuk mengenal Allah dengan akidah yang kuat.
Kiranya karya ini layak untuk menjadi bacaan bagi kalangan pesantren yang selama ini terkesan tidak begitu akrab
dengan filsafat terutama bagi mereka yang mengajar tauhid, tafsir Al Qur’an. Karya ini terasa semakin berbobot
dengan banyaknya sambutan dan pujian dari berbagai kalangan mulai dari para ulama, bahkan para politisi dan pejabat
di dunia Islam. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)
Kategori
Arsip
- November 2015 (1)
- October 2015 (6)
- September 2015 (2)
- May 2015 (3)
- January 2015 (1)
- December 2014 (2)
- November 2014 (5)
- October 2014 (6)
- September 2014 (6)
- August 2014 (1)
- April 2014 (2)
- March 2014 (8)
- February 2014 (1)
- December 2013 (3)
- November 2013 (2)
- October 2013 (15)
- September 2013 (19)
- April 2013 (2)
- March 2013 (2)
- February 2013 (3)
- November 2012 (1)
- October 2012 (20)
- September 2012 (7)