ARSIP BULANAN : November 2023

ULASAN TERHADAP VIDEO PEMBELAJARAN

28 November 2023 19:53:29 Dibaca : 16

IDENTITAS VIDEO PEMBELAJARAN

Judul Konten Video Pembelajaran Berdiferensiasi Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Lamongan
Media Unggahan Video Youtube
Tautan Unggahan Video https://youtu.be/IbkNDByigqg
Pengunggah Konten Video Melati Ayesha
Tanggal Unggahan Video 20 Oktober 2022
Durasi Video 9 menit 52 detik
Pengulas Udin Prasetia
Tanggal Ulasan 31 Mei 2023

 

ULASAN TERHADAP VIDEO PEMBELAJARAN: PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI BAHASA INDONESIA SMP NEGERI 1 LAMONGAN

Video ini merupakan video rekaman pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran Discovery Learning dengan mengintegrasikan pembelajaran berdiferensiasi (diferensiasi proses dan produk) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia jenjang kelas 7 di SMP Negeri 1 Lamongan. Menurut pengulas, video ini terdiri atas bagian: (1) kegiatan pra pembelajaran yang berisi pemaparan perencanaan pembelajaran; (2) kegiatan awal pembelajaran; (3) kegiatan inti pembelajaran; (4) kegiatan akhir pembelajaran. Guru yang bernama Rinita Melati, M.Pd dalam video tersebut berujar di awal video bahwa pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang mengakomodasi atau memfasilitasi segala kebutuhan belajar siswa. Hal ini tentunya sesuai yang disampaikan Marlina, Efrina, & Kusumastuti (2020, p. 18)  bahwa ‘pembelajaran yang dilakukan dengan prinsip berdiferensiasi berupaya  mengakomodir  siswa  yang  beragam dari kebutuhan  belajar,  bakat  dan   minat  yang dimiliki’. Sebelum melakukan pembelajaran berdiferensiasi, guru mesti memahami karakteristik siswa dengan melakukan pemetaan kebutuhan belajar siswa. Pada kelas 7 tersebut, terdapat karakteristik siswa yang berbeda-beda. Pada pembelajaran bertema ‘Menilai Pamflet Wisata’,dari segi kesiapan belajar, ada 5 siswa yang harus memahami ulang tentang ‘Menilai Pamflet Wisata’. Hal ini terlihat dari hasil belajar dan latihan siswa sehari-hari di pertemuan-pertemuan sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut, guru melakukan diferensiasi proses dengan cara siswa yang dikategorikan mampu secara kognitif pada materi tersebut dijadikan tutor sebaya. Dari segi profil belajar, ada 2 siswa bertipe kinestetik dalam belajar, sisanya memiliki belajar visual. Untuk mengatasi gaya belajar kinestetik, siswa dipersilahkan dengan memahami pamflet di mading kelas dan pojok perpustakaan. Untuk visual, hanya mengamati dalam media presentasi guru maupun pamflet yang disediakan dalam setiap kelompok. ‘Proses diferensiasi dilaksanakan dengan penggunaan kegiatan   berjenjang,   pengembangan   kegiatan   yang   beragam,   dan   klasifikasi   siswa berdasarkan kesiapan, kemampuan, dan minat. Diferensiasi  produk  dapat  dilakukan  melalui  pemberian pilihan  bagaimana  siswa  mengekspresikan  pembelajaran  yang  diinginkan’ (Yani, Muhanal, & Mashfufah, 2023, p. 243).

Kegiatan pembukaan atau awal pembelajaran yang dilakukan guru tersebut yaitu: (1) guru mengucap salam; (2) guru menyapa siswa dengan menanyakan kabar (3) guru melakukan ice breaking untuk pemusatan perhatian dan konsentrasi; (4) guru mengajak dan mengarahkan siswa berdoa yang dipimpin siswa; (5) guru dan siswa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya; (6) guru menyampaikan materi pembelajaran tentang menilai sebuah pamflet wisata; (7) guru menstimulasi siswa dengan beberapa pertanyaan terkait materi pembelajaran pertemuan sebelumnya yaitu teks deskripsi khususnya ragam bahasa yang digunakan; (8) guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Secara umum, guru melakukan tugasnya dengan baik melalui kegiatan apersepsi yang matang di kegiatan awal pembelajaran. Menurut Chatib (2011) dalam Wijaya (2015, p. 49) menyatakan bahwa menit-menit pertama dalam proses belajar adalah waktu yang terpenting untuk satu jam pembelajaran selanjutnya. Pada menit-menit pertama itulah apersepsi bisa dilaksanakan. Wulandari, Fitria & Alifa menjelaskan (2021, pp. 74-75) bahwa ‘pentingnya penanaman pendidikan karakter salah satunya sikap spiritual lewat berdoa sebelum belajar agar menjadi kebiasaan siswa’. Mengenai guru dan siswa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di kegiatan awal pembelajaran, hal ini tentunya terkait penanaman karakter kepada siswa untuk menumbuhkan nasionalisme sebagai bagian dari wujud profil Pelajar Pancasila.

Kegiatan inti pembelajaran dilakukan guru tersebut melalui tahapan kegiatan: (1) guru menyajikan video kemudian merelevansikan gambar video dengan gambar di pamflet; (2) guru mengarahkan siswa mencari referensi tentang wisata Papandayan yang ada di buku paket pelajaran halaman 14-16; (3) siswa mendiskusikan secara berkelompok mengenai analisis pamflet tentang wisata Papandayan yang ada di buku paket; (4) guru berkeliling ke semua kelompok untuk mengamati jalannnya diskusi kelompok siswa dan membuka peluang tanya jawab antara guru dan siswa terkait materi diskusi kelompok; (5) siswa mempresentasikan hasil diskusi; (6) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengomentari hasil sajian kelompok atau memberikan pendapat yang berbeda; (7) guru menugaskan siswa membuat pamflet. Kegiatan penutupan atau akhir pembelajaran dilakukan guru melalui tahapan kegiatan: (1) guru bersama siswa menyimpulkan pembelajaran; (2) guru menginformasikan materi pembelajaran selanjutnya dan mengingatkan siswa untuk mennelusuri referensi di rumah; (3) guru menutup pembelajaran.

Kelebihan pembelajaran yang dilakukan guru tersebut dalam video yaitu: (1) presentasi kelompok yang dilakukan siswa melibatkan keaktifan semua anggota kelompok dalam berbicara dan mempresentasikan hasil diskusi kelompok; (2) guru banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya jawab maupun menyampaikan argumen terkait materi; (3) guru memberikan apresiasi dalam pujian dan tepuk tangan terhadap performa belajar siswa di kelas; (4) guru mengimplementasikan dengan baik model pembelajaran discovery learning yang diintegrasikan dengan pembelajaran berdiferensiasi (khususnya diferensiasi proses dan produk); (5) guru mengelola dengan baik pembelajaran di kelas dengan paradigma belajar yang berorientasi pada siswa sebagai pusat subjek pelaku pembelajaran. Menurut Ballew (1967) dalam Pratiwi dan Rasmawan (2014, p. 4) bahwa tujuan pembelajaran discovery learning adalah agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis. Hal ini disebabkan siswa melakukan aktivitas mental sebelum materi yang dipelajari dapat dipahami. Aktivitas mental tersebut misalnya menganalisis, mengklasifikasi, membuat dugaan, menarik kesimpulan, menggeneralisasi dan memanipulasi informasi.

Kekurangan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru dalam video yaitu: (1) pembagian kelompok siswa tidak jelas padahal di pra pembelajaran guru telah melakukan asesmen diagnostik; (2) siswa hanya membacakan hasil presentasi hasil diskusi kelompok dikarenakan guru tidak menginformasikan indikator pembelajaran yang mengarahkan siswa dalam pencapaian kemampuan berbahasa yang diharapkan dalam pembelajaran; (3) guru melakukan perintah yang berulang dan tidak perlu yakni menyuruh membuka buku paket halaman 14-16, padahal sudah dilakukan di awal; (4) ditemui kesalahan guru dalam penggunaan kosakata yakni menyebut kata ‘praktek’ seharusnya ‘praktik’; (5) atas dasar diferensiasi proses, guru memberikan keleluasaan kepada siswa untuk ke luar kelas ke tempat-tempat lain di dalam kawasan sekolah untuk mencari inspirasi dalam tugas membuat pamflet, namun hal ini menimbulkan peluang siswa tidak terkontrol oleh guru karena berada di tempat yang berbeda-beda; (6) sumber belajar yang digunakan terbatas pada buku paket pelajaran dan media presentasi bahan ajar guru, kurang memberikan varian sumber belajar dan media interaktif lainnya sesuai tujuan dan materi pembelajaran; (7) guru tidak membahas tentang cara pembuatan pamflet yang baik lantas menyuruh siswa membuat pamflet, hal ini juga mengindikasikan kerancuan tahapan membuat pamflet ini padahal tujuan pembelajaran yang ditetapkan guru berkaitan tentang ‘Menilai Pamflet Wisata’; (8) guru tidak mengaitkan materi pembelajaran tentang ‘Menilai Pamflet Wisata’ dikaitkan dengan manfaat dan konteks kehidupan sehari-hari.

Penting bagi guru untuk memahami perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran sebagai satu rangkaian yang saling terkait satu sama lain. Begitupun dengan dengan komponen-kompenen penting dalam pembelajaran yang mesti relevan dan saling menunjang seperti tujuan, indikator, materi ajar, strategi, metode, teknik, media dan sumber belajar demi ketercapaian pembelajaran bermakna bagi siswa. Pada akhirnya pengulas menyampaikan bahwa secara umum video pembelajaran ini dapat menjadi referensi dalam usaha guru dalam mengidentifikasi, merefleksi, dan memformulasikan pembelajaran seperti niatan baik berupa praktik baik yang telah dilakukan oleh Ibu Rinita Melati dalam video pembelajaran tersebut.

 

 

 

 

REFERENSI

Marlina, Efrina, E., & Kusumastuti, G. (2020). Model Asesmen Pembelajaran Berdiferensiasi Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusif. Jurnal Orthopedagogik, 1(3) , 17-36.

Pratiwi, F. A., & Rasmawan, R. (2014). Pengaruh Penggunaan Model Discovery Learning dengan Pendekatan Saintifik terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa (JPPK), 3(7) , 1-16.

Wijaya, A. (2015). Penerapan Variasi Kegiatan Apersepsi dan Pembelajaran Interaktif Learning untuk Meningkatkan Aktivitas Pembelajaran dan Kemampuan Pronunciation Mahasiswa dalam Mata Kuliah Pronunciation Practice. Didaktis, 15(3) , 46-54.

Wulandari, D., Fitria, M. D., & Alifa, S. M. (2021). Praktik Gerakan Sekolah Menyenangkan. Yogyakarta: UAD Press.

Yani, D., Muhanal, S., & Mashfufah, A. (2023). Implementasi Asesmen Diagnostik untuk Menentukan Profil Gaya Belajar Siswa dalam Pembelajaran Diferensiasi di Sekolah Dasar. Jurnal Inovasi dan Teknologi Pendidikan (JURINOTEP), 1(3) , 241-250.

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pembelajaran Bahasa Indonesia dianggap mengalami problematika ketika di dalam pelaksanaannya terjadi berbagai anomali dan instabilitas. Bahasa Indonesia saja sebagai sebuah penggunaan praktis komunikasi dalam kehidupan sehari-hari mengalami gejala kebahasaan yang terkait aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya, diperparah ketika dibawa ke ranah pembelajaran yang mengalami kedangkalan mutu dan kualitas.

Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan sarana untuk meningkatkan  kemampuan berkomunikasi efektif peserta didik, mengembangkan kreativitasnya dan daya kritisnya, serta memberikannya ruang untuk berkolaborasi sehingga peserta didik dapat menumbuhkan kepribadian yang positif. Kompetensi tersebut dibutuhkan peserta didik untuk menghadapi tantangan di abad ke-21 ini (Dewayani, Subarna, & Setyowati, 2021, p. 1). Berkaitan dengan hal ini tentunya pembelajaran Bahasa Indonesia dirancang untuk menggali dan mengarahkan segenap kemampuan berbahasa dan bersastra peserta didik lewat keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan menyimak yang keempatnya ini tidak bisa dikotak-kotakkan dalam konten yang terpisah.

Peran vital guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam mengemas pembelajaran yang bermakna menjadi catatan penting untuk diidentifikasi semaksimal mungkin. Refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut yang tepat sudah menjadi keniscayaan untuk diprioritaskan dalam penuntasan problematika pembelajaran.

Atas pemaparan tersebut sehingga penulis menyusun makalah yang berjudul “Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia”.

 

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka terlahir beberapa rumusan masalah yang dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

Bagaimanakah konsep dasar problematika pembelajaran?Bagaimanakah tujuan mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia?Bagaimanakah manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia?Bagaimanakah hasil identifikasi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka? 

1.3  Tujuan Penulisan

Dari beberapa rumusan masalah maka dapat diekstraksi tujuan penulisan yakni sebagai berikut:

Untuk memahami konsep dasar problematika pembelajaran;Untuk memahami tujuan mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia;Untuk memahami manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia;Untuk mengetahui hasil identifikasi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka. 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 IDENTIFIKASI PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

2.1.1 Konsep Dasar Problematika Pembelajaran

Problematika berakar kata dari Bahasa Inggris yakni ‘problematics’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri problematika ditautkan dengan kata ‘problem’. ‘Problematics’ dan ‘problem’ mempunyai makna harfiah sama yaitu masalah atau persoalan.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik (Djamaluddin & Wardana, 2019, p. 13). Pembelajaran ialah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi mencapai tujuan pembelajaran (Nasution, Jalinus, & Syahril, 2019, p. 11). Proses pembelajaran ditandai dengan adanya interaksi edukatif yang terjadi, yaitu interaksi yang sadar akan tujuan. Interaksi ini berakar dari pihak pendidik (guru) dan kegiatan belajar secara pedagogis pada diri peserta didik, berproses secara sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi (Pane & Dasopang, 2017). Berbagai pendefenisian mengenai pembelajaran tersebut bersesuaian dengan apa yang tersurat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Problematika pembelajaran adalah kendala atau persoalan dalam proses belajar mengajar yang harus dipecahkan agar tercapai tujuan maksimal (Angranti, 2016). Problematika  pembelajaran  merupakan  sutau  hal  yang  mengganggu,  mempersulit, menghambat, dan bahkan dapat mengakibatkan kegagalan dalam  mencapai tujuan dalam pembelajaran (Syahada, Wulandari, & Stiawan, 2022).

Berangkat dari pemaparan konseptual diatas maka penulis menyimpulkan bahwa problematika pembelajaran adalah segala hal yang teridentifikasi sebagai masalah berupa hambatan, tantangan dan rintangan yang menyebabkan penyimpangan, gangguan dan kegagalan terhadap proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Faktor-faktor yang menjadi kausal primer timbulnya problematika dalam pembelajaran berasal dari guru, peserta didik, sarana dan prasarana, dan lingkungan belajar. Problematika pembelajaran sendiri sebenarnya kendala utamanya bertalian erat dengan persoalan literasi yang minim. Berbagai fakta mencengangkan mengamini betapa tertinggalnya masyarakat Indonesia dalam hal literasi. ‘Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019’ (Perpustakaan Kemendagri, 2021). ‘UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca (Kominfo, 2017).

 

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Mengkaji Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia

Tujuan mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:

1.    Untuk mengetahui mutu dan kualitas pembelajaran Bahasa Indonesia;

2.    Untuk memperdalam pemahaman terhadap karakteristik peserta didik;

3.    Untuk mengetahui efektifitas bahan ajar, media ajar, dan sumber belajar yang digunakan guru;

4.    Untuk merefleksi strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang digunakan guru;

5.    Untuk mengetahui gambaran minat, motivasi, dan hasil belajar peserta didik;

6.    Untuk mengidentifikasi penggunaan instrumen penilaian yang digunakan guru;

7.    Untuk merekonstruksi praktik baik dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

Manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia menurut penulis adalah sebagai berikut:

1.    Memberikan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia;

2.    Sumbangsih pemikiran terhadap studi pembelajaran dan pendidikan;

3.    Sebagai bahan komplementer rujukan instrumen evaluasi dan supervisi mata pelajaran Bahasa Indonesia;

4.    Menjadi bahan evaluasi penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan;

5.    Menjadi aspirasi dalam arah kebijakan yang dilakukan pihak sekolah.

 

2.1.3 Hasil Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka

Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan penulis terkait problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, terhadap guru Bahasa Indonesia dan peserta didik SMP Negeri 2 Wanggarasi ditemukan hasil identifikasi yang diuraikan sebagai berikut:

SMP Negeri 2 Wanggarasi terletak di Desa Bohusami, Kecamatan Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Sekolah ini berjarak 45 Km dari Marisa, ibukota kabupaten, dan berjarak 200 Km dari ibukota provinsi. SMP Negeri 2 Wanggararasi terdiri atas tiga rombongan belajar, yakni kelas 7 yang jumlah peserta didiknya sebanyak 14 orang, kelas 8 yang jumlah peserta didiknya sebanyak 11 orang, dan kelas 9 yang jumlah peserta didiknya sebanyak 24 orang. Total keseluruhan peserta didik sebanyak 49 orang. Adapun guru mata pelajaran Bahasa Indonesia diampu oleh Sriyulan Mahmud, S.Pd., guru berstatus PNS dan telah memiliki sertifikat pendidik. Beliau alumni S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Gorontalo. SMP Negeri 2 Wanggarasi menyelenggarakan kegiatan akademik sekolah sehari penuh selama 5 hari efektif (Senin-Jumat). Sekolah ini menerapkan 2 kurikulum, yakni kurikulum merdeka untuk jenjang kelas 7 dan kurikulum 2013 untuk jenjang kelas 8 dan 9.

2.1.1.1  Hasil Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013 di SMP Negeri 2 Wanggarasi

Adapun problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 di  kelas 8 dan 9 SMP Negeri 2 Wanggarasi adalah sebagai berikut:

1.      Minimnya media dan sumber belajar

2.      Metode pembelajaran tidak variatif

3.      Bahan ajar yang disajikan tidak kontekstual

4.      Peserta didik kebingungan dengan kurikulum yang direvisi terkait konten materi pembelajaran

5.      Peserta didik kurang motivasi dan minat

6.      Guru kesulitan melaksanakan pengayaan dan remedial

7.      Guru disibukkan mempersiapkan dokumen perangkat pembelajaran

8.      Dukungan akses fasilitas internet yang terbatas

9.      Karakteristik latar belakang siswa yang heterogen

10.  Partisipasi guru minim dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

2.1.1.2  Hasil Identifikasi Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum Merdeka di SMP Negeri 2 Wanggarasi

Adapun problematika pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum merdeka di kelas 7 SMP Negeri 2 Wanggarasi adalah sebagai berikut:

1.      Dukungan akses fasilitas internet yang terbatas

2.      Guru masih dalam proses memahami garis besar kurikulum merdeka

3.      Bentuk asesmen(penilaian) tidak variatif

4.      Penilaian sumatif kurang merespon proses stimulus kemampuan berpikir peserta didik

5.      Peserta didik kesulitan membuat laporan karya ilmiah terkait hasil proyek penguatan profil pelajar Pancasila

6.      Guru kesulitan menangani peserta didik yang rendah keterampilan membaca

7.      Minimnya kegiatan literasi

8.      Minimnya buku referensi di perpustakaan sekolah

9.      Faktor kesibukan guru

2.1.1.3  Solusi terhadap Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Wanggarasi

Atas berbagai problematika pembelajaran Bahasa Indonesia yang penulis identifikasi di SMP Negeri 2 Wanggarasi, maka penulis sebagai peneliti menghadirkan sejumlah solusi sebagai berikut:

1.      Memperkaya sumber belajar yang digunakan tidak sebatas hanya mengandalkan buku paket pelajaran. Kehadiran sejumlah platform pembelajaran seperti Rumah Belajar, Quizizz, Tiktok bisa menjadi alternatif penunjang bagi guru. Sumber belajar tidak semata-mata hanya terkait objek buku, namun bisa menanfaatkan lingkungan sekitar berupa tempat, benda, atau orang (terkait peran dan profesi) dan sebagainya sebagai sumber belajar.

2.      Merancang media pembelajaran yang efektif, inovatif, dan kreatif dalam tatap muka pembelajaran. Inspirasi media pembelajaran bisa dipelajari di Youtube atau memanfaatkan sumber daya sekitar.

3.      Bahan ajar yang digunakan harus sesuai konteks dimana siswa berada. Guru harus meramu bahan ajar dengan memasukkan unsur kearifan lokal dan memerhatikan perkembangan kognitif peserta didik.

4.       Guru harus meramu konten materi pembelajaran yang sederhana agar tidak menimbulkan kebingungan bagi peserta didik

5.      Motivasi dan minat belajar siswa yang minim harus menjadi perhatian serius guru dengan melakukan asesmen diagnosis kognitif  dan nonkognitif secara berkala untuk mengetahui karakteristik, latar belakang, dan perkembangan peserta didik. Guru juga harus memahami bahwasanya tidak semua siswa memiliki minat ketertarikan terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia, hal ini juga berkaitan dengan antusiasme dan potensi yang dimiliki siswa terhadap ketertarikan dalam mata pelajaran tertentu. Guru harus bersyukur dan semaksimal mungkin memberikan pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik.

6.      Guru harus membangun hubungaan interpersonal dengan peserta didik dan orangtua melalui kunjungan tentatif ke rumah peserta didik atau menghadiri kegiatan di tengah masyarakat sebagai bentuk pendekatan dan pembauran guru.

7.      Pengayaan dan remedial dilaksanakan bukan untuk menghukum peserta didik atas ketidaktercapaian ketuntasan belajar, namun sebagai bentuk tindak lanjut refleksi sehingga dilaksanakan secara intensif namun tidak memberatkan.

8.      Kolaborasi guru dengan rekan sejawat mata pelajaran yang sama antar sekolah dalam mendiskusikan perangkat pembelajaran yang efektif. Guru harus mampu mengatur waktu dan tepat waktu dalam mempersiapkan perangkat pembelajaran.

9.      Karakteristik peserta didik yang heterogen latar belakang sosial budayanya ditangani dengan merancang pembelajaran secara koperatif, dan konsistensi penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar selama pembelajaran dikarenakan sebagai ruang formal.

10.  Fasilitas internet yang terbatas agar dikomunikasikan dengan kepala sekolah untuk bersama memperjuangkan dukungan fasilitas internet di sekolah. sebagai informasi tambahan, Keminfo tengah membangun fasilitas sinyal pemancar Bakti Aksi  di desa untuk memaksimalkan jaringan internet.

11.  Guru harus melibatkan diri dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia baik secara daring maupun luring

12.  Guru harus bertindak proaktif dalam pemahaman garis besar kurikulum merdeka, tidak hanya sebatas menunggu pelatihan dari pemangku kebijakan terkait, namun mempelajari secara otodidak dengan memanfaatkan akses informasi teknologi dan membuka ruang diskusi nonformal dengan sesama guru mata pelajaran terkait.

13.  Bentuk asesmen (penilaian) harus beragam dan menyesuaikan ketercapaian tujuan pembelajaran. Langkah ini dilakukan melalui bentuk penilaian yang tidak hanya tertulis namun juga menghadirkan penilaian secara lisan. Guru harus memperhatikan penilaian bukan hanya aspek kognitif, namun juga aspek keterampilan dan berbasis praktik dan produktifitas karya.

14.  Penilaian sumatif hendaknya memperhatikan aspek kemampuan berpikir siswa melalui rancangan bentuk soal tes berkategori HOTS (High Order Thinking Skill).

15.  Melakukan pendampingan dan pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan terhadap peningkatan peserta didik dalam membuat karya ilmiah terkait pelaporan projek penguatan pelajar Pancasila.

16.  Guru harus menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi yang melingkupi diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk. Diferensasi konten mengenai materi ajar yang disampaikan hendaknya bersifat beragam sumber dan aktual (kekinian). Diferensiasi proses mengenai strategi dan metode pembelajaran yang variatif yang memperhatikan tujuan pembelajaran dan aspek tingkat kemampuan pemahaman peserta didik yang berbeda-beda. Diferensiasi produk mengenai hasil produk karya dan keterampilan siswa yang tidak monoton pada satu jenis, harus memperhatikan minat peserta didik dan menerima berbagai cara peserta didik dalam presentasi yang tanggap terhadap teknologi dan media sosial yang beragam jenis.

17.  Guru harus memberikan perhatian serius dan porsi waktu tambahan di luar jam pembelajaran kepada peserta didik yang diidentifikasi memiliki kemampuan membaca yang terbatas.

18.  Guru harus menggiatkan kegiatan literasi di sekolah dengan berkomunikasi dengan pimpinan dan rekan sejawat dikarenakan membutuhkan sumber daya dan sumber dana untuk menggiatkan literasi sekolah. Kegiatan literasi dapat dilakukan melalui kegiatan pembiasaan pada hari-hari tertentu dalam bentuk membaca dan mendiskusikan bacaan di pagi hari sebelum pembelajaran di kelas dimulai. Kegiatan lainnya dalam bentuk bedah karya, kelompok menulis, pameran literasi, dan sebagainya.

19.  Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang juga menjabat sebagai kepala perpustakaan SMP Negeri 2 Wanggarasi harus berkomunikasi dengan kepala sekolah terkait pengadaan buku referensi bacaan di perpustakaan khususnya buku referensi literatur dan sastra, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan buku lainnya yang menunjang pembelajaran Bahasa Indonesia.

20.  Guru harus bersikap profesional mengemban tugas sebagai pendidik dengan memanajemen urusan sekolah dan urusan di luar sekolah.

21.  Guru senantiasa menghadirkan apersepsi dalam tatap muka pembelajaran guna mempersiapkan konsentrasi dan antuasiasme peserta didik dalam proses pembelajaran. Guru juga harus memahami bahwa ruang pembelajaran tidak melulu di kelas, akan tetapi dapat memanfaatkan tempat lainnya yang menunjang seperti perpustakaan, gazebo, di bawah pohon yang rindang, dan tempat di sekitar sekolah lainnya yang dirasa efektif.

22.  Guru harus bermitra dengan pihak profesi lain yaitu perorangan maupun kelompok organisasi untuk diundang secara daring maupun tatap muka di kelas dalam rangka memberikan motivasi, berbagi wawasan, dan pengalaman baru untuk peserta didik.

23.  Guru harus memahami karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia abad 21. Karakteristik pembelajaran Bahasa Indonesia abad 21, yakni: (1) membangun rasa ingin tahu dan pertanyaan pemandu; (2) membaca dan mendiskusikan jawaban atas pertanyaan; (3) mengubah genre teks (Malabar, 2017).

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Simpulan

Problematika pembelajaran adalah segala hal yang teridentifikasi sebagai masalah berupa hambatan, tantangan dan rintangan yang menyebabkan penyimpangan, gangguan dan kegagalan terhadap proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Faktor-faktor yang menjadi kausal primer timbulnya problematika dalam pembelajaran berasal dari guru, peserta didik, sarana dan prasarana, dan lingkungan belajar.

Tujuan dan manfaat mengkaji problematika pembelajaran Bahasa Indonesia pada intinya merupakan bahan introspeksi guru yang berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Identifikasi problematika pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Wanggarasi menyajikan sekelumit persoalan yang tidak bisa dipandang remeh dan membutuhkan segera penanganan yang holistik.

3.2  Saran

Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai problematika pembelajaran Bahasa Indonesia. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami permasalahan dan solusi yang dapat menangani problematika pembelajaran. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya  hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut:

3.2.1        Bagi linguis, dosen, peneliti

a.       Memperkaya multi penafsiran kajian problematika pembelajaran

b.      Memproduksi teori problematika pembelajaran

c.       Mendokumentasikan penelitian bidang problematika pembelajaran secara kontinuitas

3.2.2        Bagi guru dan mahasiswa bahasa

a.       Mendalami kajian problematika pembelajaran dengan sumber beragam dan terbaru

b.      Melakukan penelitian dan mempublikasikan hasil penelitian terkait problematika pembelajaran

c.       Berkolaborasi dengan dosen dan peneliti dalam berkarya

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Angranti, W. (2016). Problematika Kesulitan Belajar Siswa (Studi Kasus di SMP Negeri 5 Tenggarong). Jurnal Gerbang Etam, 10(1) , 28-37.

Dewayani, S., Subarna, R., & Setyowati, C. E. (2021). Buku Panduan Guru Bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Djamaluddin, A., & Wardana. (2019). Belajar dan Pembelajaran: 4 Pilar Peningkatan Kompetensi Pedagogis. Pare-Pare: Penerbit Kaaffah Learning Center.

Kominfo. (2017, October 10). Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos. Retrieved February 25, 2023, from kominfo.go.id: https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media#:~:text=Fakta%20pertama%2C%20UNESCO%20menyebutkan%20Indonesia,1%20orang%20yang%20rajin%20membaca!

Malabar, S. (2017). Karakteristik Rancangan Pembelajaran Bahasa Indonesia Abad 21. Prosiding Seminar Internasional Riksa Bahasa XI "Penguatan Pendidikan Bahasa Indonesia pada Abad ke-21" (pp. 773-778). Bandung: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Nasution, N., Jalinus, N., & Syahril. (2019). Buku Model Blended Learning. Pekanbaru: Unilak Press.

Pane, A., & Dasopang, M. D. (2017). Belajar dan Pembelajaran. FITRAH Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman, 3(2) , 333-352.

Perpustakaan Kemendagri. (2021, March 23). Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara. Retrieved February 25, 2023, from perpustakaan.kemendagri.go.id: https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661

Syahada, N. L., Wulandari, I., & Stiawan, A. (2022). Problematika Peserta Didik dalam Pembelajaran dan Alternatif Solusi pada Peserta Didik di SDN Kowel 3. Jurnal Elementer: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 1(1) , 49-57.

 

KOMPONEN-KOMPONEN ARTIKEL ILMIAH

28 November 2023 19:43:32 Dibaca : 809

KOMPONEN-KOMPONEN ARTIKEL ILMIAH

A.  Topik yang Layak untuk Artikel Ilmiah

Topik adalah pokok pembicaraan dalam diskusi, ceramah, karangan, dan sebagainya; bahan diskusi; hal yang menarik perhatian umum pada waktu akhir-akhir ini; bahan pembicaraan; subjek yang dibahas dalam sebuah teks (Kemdikbud, 2016). Topik adalah suatu isu atau pokok persoalan yang sifatnya masih umum dan abstrak, pada dasarnya merupakan pokok pembicaraan dalam keseluruhan tulisan yang digarap dan sebagai landasan yang dapat dipergunakan oleh seorang penulis untuk menyampaikan maksudnya (Silaswati, 2018, p. 84).

Aktivitas menulis tidak mungkin dilakukan tanpa topik. Oleh karena itu, kegiatan pertama yang harus dilakukan pada tahap pra penulisan ialah memilih topik. Misalnya, isu dalam linguistik mengenai sosiolinguistik, atau isu dalam sastra misalnya stilistika, ini adalah topiknya, yang tentunya masih bersifat umum, permasalahan tersebut dalam hal apa masih belum jelas, oleh karenanya tadi dikatakan bahwa topik masih bersifat umum dan abstrak. Sehingga langkah selanjutnya untuk membuat karya tulis ilmiah setelah diketahui topiknya, adalah pembatasan topik, kemudian menentukan tema dan judul. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa judul merupakan perwujudan spesifik dari topik.

Banyak hal yang dapat dipergunakan sebagai sumber untuk penentuan topik, di dalam memilih topik karya ilmiah harus dipertimbangkan hal-hal berikut ini (Sanggup, 2015):

1.    Topik harus bermanfaat dan layak dibahas. Bermanfaat berarti bahwa pembahasan topik tersebut akan memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu dan profesi, serta layak dibahas, dan sesuai dengan bidang yang ditekuni.

2.    Topik dikenal baik, berarti topik yang dipilih harus topik yang dikuasai atau diketahui penulis sendiri. Sekurang-kurangnya prinsip-prinsip ilmiahnya dikuasai penulis.

3.    Topik cukup menarik, terutama bagi penulis. Topik yang demikian dapat memotivasi penulis berusaha secara kontinu mencari data yang berguna dalam membahas masalah yang dihadapi dan memotivasi penulis menyelesaikan masalah karya ilmiahnya secara baik. Bagi pembaca, topik yang demikian mengandung minat untuk membacanya.

4.    Bahan yang diperlukan untuk pembicaraan topik dapat diperoleh dan cukup memadai. Artinya sumber-sumber bahan yang relevan dan memadai dapat diperoleh, baik dari perpustakaan pribadi penulis maupun dari perpustakaan yang ada di daerah atau kota penulis

5.    Tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Topik yang terlalu luas seperti laut, pendidikan, pelayaran, tidak memberi kesempatan kepada penulis untuk membahasnya secara mendalam. Apalagi jika panjang karya ilmiah dibatasi. Sebaliknya bila topik terlalu sempit, maka sifatnya terlalu khusus, tidak dapat digeneralisasi, sehingga tidak banyak gunanya bagi pengembangan ilmu

6.    Topik yang dipilih sebaiknya: (a) Tidak terlalu baru, topik yang terlalu baru memang menarik untuk ditulis, akan tetapi seringkali penulis mengalami hambatan dalam memperoleh data kepustakaan yang akan dipakai sebagai landasan atau penunjang. Data kepustakaan yang diperoleh mungkin terbatas pada berita dalam surat kabar atau majalah populer; (b) Tidak terlalu teknis. Karangan yang terlalu teknis kurang dapat menonjolkan segi ilmiah. Tulisan semacam ini biasanya bersifat sebagai petunjuk tentang bagaimana tata cara melakukan sesuatu, tanpa mengupas teoriteori yang ada; (c) Tidak terlalu kontroversial. Suatu tulisan yang mempunyai topik kontroversial menguraikan hal-hal diluar hal yang menjadi pendapat umum. Tulisan semacam ini sering menimbulkan permasalahan bagi penulisnya.

Senada yang disampaikan oleh Zulmiyetri, Nurhastuti, & Safaruddin (2019) bahwa syarat atau kriteria pemilihan topik ialah:

1.    Topik itu ada manfaatnya dan layak dibahas, topik itu akan memberikan sumbangan kepada ilmu yang dimiliki, layak dibahas berarti topik itu memang memerlukan pembahasan dan sesuai dengan bidang yang ditekuni.

2.    Topik itu cukup menarik terutama bagi penulis. Topik yang menarik bagi penulis akan mengingatkan kegairahan dalam mengembangkan, dan bagi pembaca akan mengundang minat untuk membacanya.

3.    Topik itu dikenal baik, kita harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang topik itu.

4.    Bahan yang diperlukan dapat diperoleh dan cukup memadai.

5.    Topik itu tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit (p. 7).

Ciri-ciri topik karya ilmiah yang baik adalah sebagai berikut a. Aktual, suatu kejadian atau data penelitian harus benar-benar terjadi dan bisa dikatakan sedang hangat-hangatnya menjadi pembicaraan. Dengan kata lain data bersifat baru. b. Berasal dari bidang atau dunia dari lingkungan kehidupan yang akrab dengan peneliti atau penulis. c. Memiliki arti penting baik bagi penulisnya sendiri atau bahkan bagi orang lain. Bisa dikatakan juga memiliki nilai tambah. d. Searah dan selaras dengan tujuan akhir penulis dan calon pembaca. e. Original atau asli, bukan pengulangan atau plagiarisme atas sesuatu yang sama yang sudah pernah disajikan oleh penulis lain. f. Tidak menyusahkan pencarian bahan, pengumpulan data, serta informasi pendukung lainnya yang dibutuhkan (Widodo, 2018, p. 25).

Setelah memilih topik yang memenuhi persyaratan, langkah kedua ialah membatasi topik. Untuk membuat diagram jam, topik diletakkan dalam sebuah lingkaran atau dapat pula dalam bentuk diagram pohon. Dari topik itu diturunkan beberapa topik yang lebih sempit.

 

Diagram 1. Diagram Topik Sosiolinguistik

 

B.  Perumusan Judul Artikel

Meskipun topik yang terbatas telah diperoleh, penulis belum bisa mulai menulis, tetapi harus menetapkan maksud dan tujuannya menggarap topik tadi. Tujuannya adalah untuk mengarahkan perkembangan tulisan. Setelah itu, penulis membuat rumusan mengenai masalah dan tujuan yang dicapai dengan topik tadi. Rumusan itu dinamakan tema, untuk memenuhi keperluan penyusunan sebuah kerangka tulisan ilmiah, rumusan tema harus berbentuk tulisan ilmiah, rumusan tema harus berbentuk kalimat. Ini berarti bahwa ada satu gagasan sentral yang menonjol. Bila tulisan itu tidak menonjolkan suatu gagasan utama, maka yang ingin disampaikan, dapat dinyatakan dalam bentuk penjelasan singkat.

Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal, salah satunya dalam membuat suatu tulisan. Pada setiap tulisan pastilah mempunyai sebuah tema, karena dalam sebuah penulisan dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan dibuat (Nurgiyantoro, 2015). Tema mempunyai dua pengertian yaitu: 1. Suatu pesan utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya. 2. Suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan dan tujuan yang ingin dicapai. Sebuah tulisan karya ilmiah dikatakan baik apabila tema dikembangkan secara terinci dan jelas. Adanya gagasan sentral, rincian yang teratur dan susunan kalimat yang jelas akan menghasilkan karangan yang menarik dan enak dibaca. Disamping itu, seorang penulis juga harus menampilkan keaslian tulisannya. Keaslian tersebut dapat dilihat dari beberapa hal, misalnya: 1. Pokok permasalahan; 2. sudut pandang; 3. cara pendekatan; atau 4. gaya bahasa dan tulisannya (Silaswati, 2018, p. 86).

Judul artikel ilmiah menggambarkan isi keseluruhan artikel. Judul harus mudah dipahami dan hendaknya tidak terlalu panjang. Judul dapat dirangkai dari kata-kata kunci yang diambil dari artikel. Judul sebaiknya disampaikan secara ringkas dan jelas. Mengenai faktor keringkasan, dapat diterangkan bahwa sebaiknya judul tidak dinyatakan dalam bentuk kalimat, tetapi dalam bentuk kelompok kata. Alasannya, biasanya, judul yang dinyatakan dalam kalimat lebih panjang daripada kelompok kata. Selain itu, kalimat yang memungkinkan digunakan sebagai judul adalah kalimat tanya, meskipun hal itu sangat jarang, dan pada buku ini judul yang demikian itu tidak disarankan. Dengan demikian, judul yang ringkas adalah judul yang pendek, tetapi padat akan makna. Tentang faktor kejelasan, dapat diungkapkan bahwa judul yang baik menggambarkan isi tulisan secara keseluruhan, termasuk variabel-variabel yang dibahas (Kemristekdikti, 2016, p. 211).

Topik berbeda dengan judul. Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, topik adalah pokok pembicaraan dalam keseluruhan karya ilmiah yang digarap. Sedangkan judul ialah nama dalam suatu karya ilmiah. Dalam karya ilmiah, judul harus tepat menunjukkan topiknya. Penentuan judul harus dipikirkan secara serius dengan mengingat beberapa syarat berikut: 1. Judul harus relevan dengan topik dan tema atau isi karya ilmiah beserta jangkauannya dan bagian-bagian dari tulisan tersebut. 2. Judul harus menggambarkan secara sederhana masalah yang akan diteliti, artinya judul tersebut merupakan suatu refleksi daripada masalah yang akan diteliti. 3. Judul harus memiliki independent variable (variabel bebas) dan dependent variable (variabel terikat) 4. Judul karya ilmiah harus dinyatakan secara jelas. Artinya judul itu tidak dinyatakan dalam kata kiasan atau tidak mengandung kata yang mendukung makna ganda (Silaswati, 2018, p. 86).

Penulisan Judul dan Subjudul (Ideas Publishing, 2023):

Judul artikel pernyataan ringkas tentang topik utama mengidentifikasi variabel atau masalah teoretis yang sedang diteliti.2.      Judul artikel ditulis dengan prinsip menarik, singkat, provokatif, akurat, spesifik, menggambarkan isi/konten/temuan, tidak harus sama dengan judul penelitian; hindari singkatan, nama peraturan, akronim, nama lokasi riset.

3.      Judul terdiri dari tiga tingkatan. Tingkatan pertama judul, tinggkatan kedua subjudul, dan tingkatan ketiga sub-subjudul.

4.      Judul artikel merupakan judul tingkatan pertama tidak boleh lebih dari 12 kata, jenis huruf times new roman 12 pt, menggunakan huruf kapital di setiap unsur, dan diletakkan di tengah-tengah (center).

5.      Judul artikel ditulis dengan prinsip menarik, singkat, provokatif, akurat, dan spesifik.

6.      Judul artikel mengandung probelamtik, menuju novelty (temuan baru), dan pro-kontra.

7.      Judul artikel menggambarkan isi/konten/temuan, tidak harus sama dengan judul penelitian; hindari singkatan, nama peraturan, akronim, dan nama lokasi riset.

8.      Subjudul merupakan judul tingkatan kedua ditulis rata kiri, menggunakan huruf times new roman 12 pt, dan tebal.

9.      Subjudul hanya terdiri dari lima, yaitu pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan, simpulan, dan daftar pustaka.

10.  Anak subjudul merupaan judul tingkatan ketiga ditulis rata kiri, menggunakan huruf times new roman 12 pt, miring, dan tebal.

 

C.  Penyajian Identitas Penulis dan Afiliasi

Peran utama seorang penulis adalah untuk berkontribusi pada pertumbuhan ilmu pengetahuan dengan tulisan-tulisan asli yang akan meningkatkan atau mendorong komunitas ilmiah. Artikel ilmiah adalah sumber yang paling banyak dirujuk untuk penelitian apa pun; karenanya mereka memainkan peran penting dalam memajukan sains. Saat mengirimkan naskah, penulis menyiapkan naskah yang sesuai dengan persyaratan jurnal. Penulis juga harus bijaksana karena mereka berurusan dengan editor jurnal (Parasuraman & Ahmed, 2013). Nama penulis tidak disertai gelar, dan dilengkapi dengan alamat korespondensi, nama dan alamat institusi (Widodo, 2018, p. 77).

Berikut ini adalah beberapa metode umum untuk membuat daftar urutan penulis (Worvice, 2020):

1.    Relative contribution. Seperti disebutkan di atas, sebagian besar penulis yang namanya tercantum adalah yang memberikan kontribusi. Penulis yang paling banyak mengerjakan draft artikel dan penelitian adalah yang mendasarinya menjadi penulis pertama. Penulis selanjutnya disesuaikan dengan urutan kontribusi yang dilakukan. Namun, dalam banyak disiplin ilmu, seperti ilmu kehidupan, penulis terakhir dalam sebuah kelompok adalah peneliti utama — orang yang mengawasi pekerjaan.

2.    Alphabetical list. Bidang-bidang tertentu, khususnya yang melibatkan proyek kelompok besar menggunakan metode lain. Misalnya, tim fisika partikel berenergi tinggi membuat daftar penulis menurut abjad.

3.    Multiple “first” authors. Tambahan penulis “pertama” dapat dicatat oleh tanda bintang atau simbol lain disertai dengan penjelasan. Praktik ini adalah umum dalam studi interdisipliner.

4.    Multiple “last” authors. Beberapa penulis terakhir dapat dikenali melalui simbol tipografi dan catatan kaki. Praktik ini muncul karena beberapa jurnal ingin meningkatkan akuntabilitas dengan meminta anggota lab senior untuk meninjau semua data dan interpretasi yang dihasilkan di laboratorium mereka.

5.    Negotiated order. Dalam menentukan penulis pertama dan terakhir dapat dapat diputuskan melalui negosiasi, sehingga mempertajam keterampilan argumen persuasif.

Dalam artikel ilmiah, "afiliasi" adalah lembaga yang dimiliki masing-masing penulis. Hal ini biasanya tercantum di bawah nama penulis, sebagai “departemen, universitas” dari lembaga masing-masing penulis bekerja pada waktu penelitian dilakukan (Napitupulu, et al., 2020, p. 48).

Nama Penulis, Afiliasi, dan Surat Elektronik (email) (Ideas Publishing, 2023):

Nama penulis harus ditulis di bawah judul dengan spasi ganda. nama ditulis lengkap (tidak disingkat baik nama awal, tengah, atau akhir;); tanpa gelar akademik (gelar); dilengkapi dengan afiliasi kelembagaan serta alamat yang sesuai (alamat email). Jika penulis lebih dari satu dan berasal dari afiliasi yang sama, cukup menuliskan satu afiliasi. Jika penulis berasal dari afiliasi yang berbeda maka susunannya adalah penulis pertama beserta afiliasinya, diikuti oleh penulis kedua beserta afiliasinya, dan seterusnya dengan menggunakan spasi tunggal.

Setiap publisher maupun jurnal memiliki gaya (style) penulisan nama dan afiliasi yang berbeda-beda. Jadi sangat disarankan bagi penulis (Author) untuk membaca panduan untuk penulis (guides for authors) sebelum mengirimkan artikel ilmiahnya dan biasanya setiap pengelola jurnal menyediakan panduan untuk penulis tersebut dilaman situs web mereka.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ideas Publishing. (2023, April 3). Author Guidelines. Gorontalo, Gorontalo, Indonesia.

Kemdikbud. (2016, April 1). KBBI Daring. Retrieved April 3, 2023, from kbbi.kemdikbud.go.id: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/topik

Kemristekdikti. (2016). Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI.

Napitupulu, D., Windarto, A. P., Wanto, A., Simarmata, J., Purnomo, A., Bachtiar, E., et al. (2020). Menulis Artikel Ilmiah Untuk Publikasi. Medan: Penerbit Yayasan Kita Menulis.

Nurgiyantoro, B. (2015). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Parasuraman, S., & Ahmed, K. K. (2013). Issues in manuscript writing. Elsevier: Journal of Young Pharmacists , 35-37.

Sanggup, B. (2015). Pendidikan Bahasa Indonesia. Medan: Unimed Press.

Silaswati, D. (2018). Pentingnya Penentuan Topik dalam Penulisan Karya Ilmiah. AKURAT: Jurnal Ilmiah Akuntansi, 9(1) , 81-88.

Widodo, A. P. (2018). Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Widodo, A. P. (2018). Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Worvice. (2020, May 29). How to Order Author Names and Why That Matters. Retrieved April 3, 2023, from Wordvice: https://wordvice.com/journal-article-author-order/

Zulmiyetri, Nurhastuti, & Safaruddin. (2019). Penulisan Artikel Ilmiah. Jakarta: PRENADAIVEDIA GROUP.

 

MAKALAH JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH

28 November 2023 19:38:58 Dibaca : 47