Kisah Nomophobia Si Pecandu Gadget

08 September 2014 16:48:43 Dibaca : 889

Jakarta - Jika kita memperhatikan sekitar, terutama saat menggunakan transportasi umum, maka akan ditemukan fenomena menarik. Baik kita mengamati di stasiun commuter line, busway, kereta api, terminal antara propinsi, ataupun bandara, akan jamak kita temui orang-orang yang asik dengan gadgetnya masing-masing.

Bermain dengan smartphone dan tablet, seakan-akan lebih mengasyikkan daripada berdiskusi dengan orang lain. Satu hal yang ironis, dalam kumpul keluarga, ternyata setiap anggotanya banyak yang asik dengan gadgetnya, bukan ngobrol dengan keluarga sendiri.

Seakan, gadget sudah menjadi semacam 'fetish' yang menarik seluruh kesadaran mereka. Apakah yang terjadi?

Nomophobia di mana-mana

Nomophobia (no mobile phone phobia) adalah istilah baru, yang berarti ketakutan akan dipisahkannya pengguna dengan gadget kesayangannya. Istilah ini diperkenalkan oleh peneliti dari Inggris.

Adapun, di luar negeri sudah banyak penelitian mengenai nomophobia. Yang paling banyak dikutip adalah penelitian oleh securenvoy, sebuah perusahaan IT di Inggris. Menurut penelitian mereka, dari 1.000 responden yang menjawab polling mereka, sekitar 66 persen memiliki rasa takut kehilangan atau terpisah dari ponsel mereka.

Sementara lebih dari 41 persen memiliki lebih dari satu smartphone. Hal ini memprihatinkan, karena beberapa tahun yang lalu, survey serupa menyatakan bahwa hanya 53 persen responden yang takut kehilangan gadget mereka, sekarang angka itu naik ke 66 persen.

Survei yang tak kalah menarik dilakukan oleh Chicago Tribune, di Amerika Serikat, dimana lebih dari 40 persen responden menyatakan 'lebih baik tidak gosok gigi selama seminggu daripada pergi tanpa smartphone'.

Ada juga survei yang dilakukan oleh 11Mark, yang menyatakan bahwa 75 persen responden menggunakan smartphone di kamar mandi. Namun, tidak hanya Amerika Serikat dan Inggris saja yang terkena gangguan mental ini, namun juga Australia.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cisco di Australia, 9 dari 10 orang berusia dibawah 30 tahun mengakui mengalami nomophobia. Survei tersebut dilakukan terhadap 3800 pemakai smartphone.

Bagaimana dengan di Indonesia? Memang sampai sekarang belum ada data yang pasti. Namun, di Asia sendiri, nomophobia telah menjadi ancaman nyata. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan di India, 45% dari responden mengalami nomophobia.

Namun menurut Dr Sanjay Dixit, seorang psikiater yang juga penelilti riset tersebut, nomophobia belum dimasukkan dalam kategori 'phobia' secara resmi oleh buku teks Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.

Meski demikian, menurut Dr Dixit, semakin banyaknya pengguna gadget yang nomophonia dapat saja mencapai skala epidemik.

Nah, apa saja efek dari nomophobia? Menurut riset-riset tersebut, efek yang terjadi boleh dibilang tidak jauh berbeda dengan social disorder lain yang pernah didokumentasikan. Di antaranya:

1. Komunikasi antar manusia secara tatap muka jadi makin jarang
2. Generasi muda kini lebih suka berkomunikasi via gadget (email, chatting, Twitter, Facebook), daripada tatap muka langsung.
3. Orang jadi jarang mengamati lingkungan sekitar, karena lebih tenggelam dengan gadgetnya. Akibatnya, rasa peduli pada sekitar berkurang, justru lebih mempedulikan isu-isu di socmed dari gadgetnya.
4. Manusia dapat saja teralineasi oleh mesin. Masih ingat film wall-e dimana robot melayani manusia yang menjadi pemalas? Pada saat itu, manusia akan menjadi apatis dan anti sosial.

Gadget, sebagai 'fetish' baru, telah menjadi semacam 'dewa' baru yang dipuja-puji. Hal ini menarik, karena di masa lalu, ketergantungan terhadap teknologi yang begitu masif seperti sekarang ini sama sekali tidak pernah terjadi.

Sampai 30-20 tahun yang lalu, teknologi tinggi hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Namun, sekarang ini, hampir semua orang dapat menggunakan media sosial dari gadget mereka. Mengapa? Sebab dengan smartphone seharga tidak sampai sejuta rupiah, maka fitur media sosial dan chatting sudah dapat digunakan.

Menghindari dan Mengobati Nomophobia

Apa yang harus kita lakukan untuk terhidar dari nomophobia? Salah satu yang dapat dilakukan adalah disiplin dengan gadget. Kita seyogyanya membiasakan waktu tertentu dimana pertemuan keluarga 'disterilkan' sama sekali dari gadget, supaya ada diskusi yang hangat dan bermakna.

Gadget adalah ciptaan manusia, sehingga jangan sampai kita diperbudak olehnya. Kemudian, salah satu aktivitas yang dapat mengurangi nomophobia adalah mengintensifkan kegiatan outdoor, seperti rekreasi alam, dan olahraga secara teratur.

Satu hal yang tak kalah penting, sebagai orang yang beragama, maka mengintensifkan ibadah dan terlibat secara intens pada pertemuan jemaat atau umat dapat mengurangi tendensi anti sosial yang timbul dari nomophobia.

Jika ketergantungan sudah parah dan mengganggu, konsultasi dengan ahlinya, dalam hal ini psikolog dan psikiater, sama sekali bukan opsi yang ditabukan. Mereka dapat memberikan saran dan terapi untuk mengurangi ketergantungan terhadap gadget. SUMBER

Tentang penulis

Untold History of Pangeran Diponegoro (13)

08 September 2014 16:02:09 Dibaca : 1200

Bab 6

TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan Paseban[1] Puri Tegalredjo telah dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah laskar juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan berjubah putih. Mereka menutupi kepalanya dengan sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di dalam masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar pertemuan terbatas dengan sejumlah sesepuh dan pimpinan pasukan.

“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah terang-terangan menantang kita dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan pasukan dan segala sesuatunya.”

“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik Diponegoro. Basis adalah nama sandi bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando utama jika Puri Tegalredjo tidak bisa dipertahankan. Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah yang mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis tersebut. Dan Diponegoro mengakui jika Gua Selarong memang pilihan yang tepat.

Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus[2] Laskar Diponegoro menjawab, “Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur Wisesa?”

Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua Selarong tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan jalur, sudah kita amankan…”

“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan duapuluh empat jam, tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan satu.”

Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya. Sebagai pemuda yang sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar kemiliteran, Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah mempersiapkan sistem pertahanan menghadapi pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus dengan Puri Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu ketika dia masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton bersama Pangeran Mangkubumi.

Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang berbeda. Gelang terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai lingkar tiga, gelang kedua berjarak dua sampai dua setengah kilometer dari Puri dengan sandi lingkar dua. Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari poros utama. Masing-masing lingkar dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan dengan jalur komunikasi dan juga logistik, sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.

Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik sandi atau mata-mata yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia. Pasukan telik sandi ini dikirim berpencar ke seluruh penjuru mata angin mengepung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.

“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak akan lama lagi meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu, keluarkan mereka dari Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan juga pasukannya Danuredjo. Sedikit demi sedikit para perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa ini,” ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati yang bertanggungjawab terhadap keamanan sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.

Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera saya laksanakan.”

“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya pergerakan ini tidak menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati yang lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk bahu Joyokirno.

“Inggih, Kanjeng Pangeran…”

“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”

Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera melompat ke atas kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke pasukannya yang berjaga tigaratusan meter setelah pintu desa di sebelah utara.

“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang sedang meneliti peta sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid. Ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo itu mendekat.

“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?”

Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah mereka juga sudah siap. Bahkan saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan pasukan-pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak para alim-ulama dan sesepuh desa ke berbagai daerah di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk bergabung dengan kita.”

Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kita akan tetap dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”

Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab. Diponegoro memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah komandemen, yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah ini dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah berhitung, satu daerah komandemen memiliki lebih kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan senjata. Mereka harus menjadi pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap berada di tangan Pangeran Diponegoro. “Bagaimana, Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.

“Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah cukup. Nanti kita lihat perkembangannya kemudian. Bukankah dalam peperangan organisasi hanyalah suatu ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada improvisasi para pemimpin di lapangan dan kecepatan dalam bertindak tepat. Itu yang penting.”

“Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal perang yang sebentar lagi akan meletus?”

“Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri. Jangan sampai kita dituding sebagai pihak yang memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang pancingan atau mungkin jebakan yang dilakukan Belanda dan Patih Danuredjo, yang menancapkan patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran mengirim nota protes kepada Residen Smissaert…”

“Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota protes dan minta agar kafir Belanda menghentikan proyek itu atau mengubah arah jalan yang akan dibuat sehingga tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya minta agar residen kafir itu segera memecat Danuredjo.”

“Ya, itu bagus. Saya setuju…”

“Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan siapkan surat sekarang juga untuk diantar ke residen kafir itu.”

Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan Diponegoro. Pemuda keturunan Cina ini asli Pekalongan yang telah bergabung dengan Diponegoro sejak awal perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.

Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar masjid untuk memanggil pemuda yang dimaksud. Tak lama kemudian guru ngaji itu datang bersama seorang pemuda berkacamata bulat yang mengenakan baju koko dan songkok putih.

“Ahmad…,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam pemuda itu, “…Saya akan tulis surat. Nanti tolong antarkan langsung ke Residen Smissaert. Pastikan dia yang menerimanya…”

“Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”

“Tunggu sebentar disini.  Bersambung

Untold History of Pangeran Diponegoro (12)

20 August 2014 16:04:36 Dibaca : 2021

Para jamaah menganggukkan kepalanya.

“Nah…,” lanjut Diponegoro, “…bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang ini? Jawabannya adalah: Pertama, kita harus paham terhadap Islam yang benar, yang haq, yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, bukan hadits palsu. Kita tegakkan Islam itu di dalam dada kita. Biarlah Islam menjadi satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan kita dan keluarga kita. Kedua, tancapkan kuat-kuat cita-cita untuk bisa hidup di dalam kedamaian Daulah Islamiyah. Ketiga, untuk menggapai cita-cita itu, maka thagut dan seluruh pengikutnya harus kita perangi, kita lawan, dan kita hancurkan. Bukan malah bersekutu atau menjadi perpanjangan tangan dari thagut itu.

Seperti halnya perang yang akan kita lakukan di hari-hari ke depannya melawan kafir Belanda, maka bukan orang Belanda-nya yang kita musuhi, namun sistem thagut-nya yang kita perangi. Yang akan kita lakukan adalah perang sabil, perang di jalan Allah atau jihad fi sabilillah. Semua yang berjihad di jalan Allah tidak akan rugi. Jika kita mati maka pintu surga telah menanti, dan jika kita menang, maka kita akan hidup bahagia di dalam suatu negara yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran…”

“Tapi kafir Belanda pasti tidak akan menyerah…”

“Benar itu. Allah subhana wa ta’ala sendiri di dalam surat al-Baqarah ayat 120 berfirman, “Wa lan tardho ankal Yahudu wa Nasharo, hatta tata bi’an milatahum…” yang artinya, “Tidak akan pernah rela, tidak akan pernah sudi, tidak akan pernah mau, orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada kalian wahai umat Islam, hingga kalian semua akan tunduk mengikuti, mematuhi, dan melaksanakan keyakinan mereka.

Kaum penjajah kafir tidak akan pernah mau pergi dengan sukarela dari tanah Islam ini. Sebab itu kita harus menghimpun segenap kekuatan untuk memerangi dan mengusir mereka dari tanah kita sendiri.

Tanah Yogyakarta, Tanah Jawa, adalah tanah milik kita yang diwariskan nenek moyang kita. Bukan tanah mereka. Tanah mereka ada di seberang samudera, nun jauh di Eropa sana. Sebab itu kita wajib mengembalikan mereka ke tanah mereka, ke kampung halaman mereka. Ini perang untuk menegakkan keadilan. Nanti setelah mereka kembali ke negerinya, maka kita akan bisa menciptakan satu negeri yang berkeadilan bagi semua rakyatnya berdasarkan tauhid. Inilah hakikat dari Daulah Islamiyah…”

Tiba-tiba dari arah alun-alun depan terlihat seorang pemuda berlari mendekati masjid sambil berteriak-teriak, “Kanjeng Gusti Pangeran! Kanjeng Gusti Pangeran..!”

Pangeran Diponegoro dan seluruh jamaah masjid langsung melihat pemuda itu. Diponegoro mengenalinya sebagai salah seorang anggota pasukan Laskar Ki Joyosuto yang berasal dari Winongo.

Diponegoro bertanya, “Ada apa Kisanak berlari-lari seperti itu?”

“Kanjeng Pangeran! Mereka mematoki tanah makam!”

“Ambil nafas dan hembuskan pelan-pelan. Tenangkan dirimu dulu. Jika sudah tenang, ceritakan dengan jelas…”

Pemuda itu menuruti apa yang dikatakan Pangeran Diponegoro. Setelah menenangkan diri, walau nafasnya masih tersengal-sengal, dia mulai bercerita, “Tanah makam leluhur dan kebun Kanjeng Pangeran dipatoki Belanda. Mereka ingin membuat jalan dengan menerabas tanah itu Kanjeng Pangeran…”

Wajah Diponegoro seketika berubah menjadi kencang. Lelaki yang biasanya lemah lembut itu tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

“Pasti ini kerjaan Danuredjo!” desisnya.

“Apa yang harus kami lakukan Kanjeng Pangeran?” ujar salah seorang pemuda yang lain.

“Berikan perintah kepada kami Kanjeng Pangeran, kami sudah siap bergerak!” pekik yang lain.

Suasana mendadak gaduh. Bahkan ada yang bertakbir. Pangeran Diponegoro segera mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha untuk menenangkan semua pengikutnya.

“Saudara-saudara, tenang! Harap tenang! Pengajian pagi ini kita sudahi dulu. Sekarang, dengan barisan teratur dan tetap tenang, kita akan bersama-sama menuju ke tanah makam. Kita akan lihat langsung apa yang diperbuat kafir Belanda itu kepada leluhur kita, orangtua-orangtua kita. Saya sendiri akan berangkat memimpin barisan ini!”

Seorang pemuda segera keluar dari masjid dan berlari mengambil Kiai Gentayu-nama dari kuda hitam dengan warna putih di ujung keempat kakinya-beserta Kiai Ompyang, sebuah nama keris dengan 21 lekukan yang berasal dari Demak, dan menyerahkannya kepada Pangeran Diponegoro. Setelah mengambil keris dan menyelipkan di pinggang, dengan tangkas Sang Pangeran melompat naik ke atas Kiai Gentayu. Sejumlah pengikutnya juga mengambil kudanya masing-masing dan mengikuti Sang Pangeran.

Dari Puri Tegalredjo, letak tanah makam leluhur tidak terlalu jauh. Tidak sampai sepuluh menit tibalah mereka di areal pemakaman yang dipenuhi batu-batu nisan. Betapa geram hati Diponegoro melihat patok-patok kayu yang biasa dipergunakan sebagai penanda batas proyek jalan raya, tertancap begitu saja di antara nisan-nisan makam leluhurnya. Bahkan ada sejumlah patok yang ditancapkan pas di bagian tengah makam, seakan sengaja dibenamkan ke perut leluhur yang ada di dalam tanahnya.

Pangeran Diponegoro melompat turun dari kuda, diikuti seluruh pengikutnya yang menyandang berbagai jenis senjata seperti keris, pedang, dan trisula. Sang Pangeran itu kemudian berlutut di depan kompleks malam. Tubuhnya bergetar menahan kemarahan yang teramat sangat. Walau demikian dia mencoba untuk tetap tenang. Bibirnya komat-kamit berzikir. Diponegoro tampak berusaha keras menguasai dirinya dari kemarahan yang tiba-tiba menyengat hatinya. Harga dirinya serasa diinjak-injak.

Ki Guntur Wisesa mendampingi Sang Pangeran. Dia ikut berlutut di sampingnya. Walau demikian, kedua matanya mengawasi keadaan sekitar dengan sikap sangat waspada. Sedangkan Pangeran Ngabehi tetap berdiri di dekat mereka berdua.

“Ki Guntur…,” bisik Diponegoro pelan.

“Dalem, Kanjeng Pangeran…”

“Ini sudah keterlaluan! Apa yang harus kita lakukan?”

“Istighfar, Kanjeng Pangeran. Walau marah tapi kita harus tetap berkepala dingin. Sebaiknya sekarang kita kembali saja ke Puri…”

Pangeran Diponegoro tidak segera menjawab. Dia memanjatkan doa barang sebentar. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemudian Diponegoro mengangguk pelan, “Baiklah Ki Guntur. Kita kembali saja ke Puri. Tolong kumpulkan para sesepuh dan senopati di masjid sekarang juga.”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan!”

Pangeran Diponegoro bangkit dan berdiri dengan tegar. Di hadapan para pengikutnya yang kian bertambah banyak sehingga membentuk satu pasukan berkuda yang cukup besar, bagaikan satu kompi kavaleri, dia berteriak lantang,

“Saudara-saudaraku semua, astaghfirullah al-adzim! Tanah makam leluhur kita telah dinodai. Harga diri kita telah dicederai. Mereka tidak saja menindas dan menyiksa saudara-saudara kita yang masih hidup. Para leluhur kita yang sudah mati pun mereka cemari. Sekarang juga, kita akan cabut semua patok-patok ini! Kita bakar! Kita ganti patok-patok itu dengan tombak di sekeliling tanah makam ini. Kita akan menyampaikan protes keras kepada kafir Belanda itu! Kita tunjukkan jika kita tidak pernah takut kepada orang-orang kafir itu. Allahu Akbar!”

Pekik takbir Diponegoro disambut para pengikutnya dengan gegap gempita. Langit Tegalredjo pagi itu membahana dengan teriakan takbir. Cahaya matahari yang baru saja menyorot ujung-ujung dedaunan kalah panas dengan dendam amarah yang memenuhi seluruh rongga dada.

“Sekarang kita semua bersiap! Bersiagalah! Siapa pun yang mencintai Islam sebagai agamanya, yang mencintai saya sebagai hamba dari Sang Khaliq, Allah subhana wa ta’ala, bergabunglah dalam barisan jihad ini. Mereka telah menantang kita, dan haram bagi kita untuk takut terhadap tantangan kafir Belanda itu! Bersiagalah. Tunggu perintah dariku. Siapkan perbekalan, urus isteri dan anak-anak. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Semuanya bisa saja terjadi kapan pun. Allah bersama kita!”

“Allahu akbar!” Pekik takbir membahana sekali lagi.

“Aku akan kembali ke Puri Tegalredjo. Siapkanlah diri kalian semuanya. Bismillah! Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!“

Setelah mengucapkan salam, Pangeran Diponegoro memacu Kiai Gentayu kembali ke dalam puri diikuti Ki Guntur Wisesa dan ratusan pengikutnya. Debu membumbung tinggi dari kaki ratusan kuda yang meninggalkan tanah makam. Suaranya benar-benar menakutkan.

Ratusan pengikut Diponegoro yang lain tetap tinggal di tanah makam. Mereka bekerja cepat mencabuti patok-patok kayu tersebut dan menggantinya dengan tombak yang mengelilingi tanah makam. Patok-patok kayu Belanda yang jumlahnya ratusan itu kemudian dibakar hingga habis menjadi abu. Bersambung

Untold History of Pangeran Diponegoro (11)

17 April 2014 09:33:41 Dibaca : 2692

“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.”

“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama. Nanti dia kecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti cepat capek. Untukmu sendiri pasti sudah juga kan?”

Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut tertawa.

“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.

Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain saja. Bosan kalau makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur lodeh…”

Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian. Keduanya memang penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun, Patih Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa perempuan muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara, termasuk dengan puteri-puteri kraton.

Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari phonograph, alat pemutar piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras berserakan di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan suara musik. Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak sampai menembus ke luar dinding tebal kraton.[]

Bab 5

Puri Tegalredjo, 04.50 wib

ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI ANGKASA pagi. Suaranya terdengar mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan kecil, yang tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun berkokok bersahut-sahutan.

Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga saat-saat pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang belum sepenuhnya rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya. Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya malam adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah selimut bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana untuk mengantarkan ruhani yang dahaga akan keabadian.

Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan jubah dan songkok putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak jauh dari lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.

Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri, kemudian melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah warga sekitar Puri Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung atau jubah putih.

Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya untuk segera mengumandangkan iqamah.

Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!” Semua yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.

Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas berisi tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allah subhana wa ta’ala. Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.

Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang merupakan surat ke-102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang sering lalai disebabkan kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu. Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang Pangeran yang begitu menyayat hati.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Sampai kamu masuk ke liang kubur,

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,

Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)…”

Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan tausiyah soal “Islam dan Negara”.

“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara itu? Ada yang tahu?”

Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya. Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.

“Ya, silakan jawab anak muda…”

“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah…”

Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki, dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam, hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”

Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ada lagi yang ingin bertanya?”

Seorang lelaki tua mengangkat tangan.

“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.

“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa yang harus kita lakukan?”

“Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah Daulah Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah Islamiyah itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”

“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang, dimana kaum kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan orang-orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir Belanda itu?”

“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum, sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya bertentangan dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang Islamnya benar, maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah orang yang mengkhianati perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” Bersambung

BEI Syariah

03 April 2014 08:58:30 Dibaca : 748

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia merupakan pasar yang sangat besar untuk pengembangan industri keuangan Syariah. Investasi Syariah di pasar modal yang merupakan bagian dari industri keuangan Syariah, mempunyai peranan yang cukup penting untuk dapat meningkatkan pangsa pasar industri keuangan Syariah di Indonesia. Meskipun perkembangannya relatif baru dibandingkan dengan perbankan Syariah maupun asuransi Syariah tetapi seiring dengan pertumbuhan yang signifikan di industri pasar modal Indonesia, maka diharapkan investasi Syariah di pasar modal Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang pesat.

Selama ini, investasi Syariah di pasar modal Indonesia identik dengan Jakarta Islamic Index (JII) yang hanya terdiri dari 30 saham Syariah yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Padahal Efek Syariah yang terdapat di pasar modal Indonesia bukan hanya 30 saham Syariah yang menjadi konstituen JII saja tetapi terdiri dari berbagai macam jenis Efek selain saham Syariah yaitu Sukuk, dan reksadana Syariah.

Sejak November 2007, Bapepam & LK telah mengeluarkan Daftar Efek Syariah (DES) yang berisi daftar saham Syariah yang ada di Indonesia. Dengan adanya DES maka masyarakat akan semakin mudah untuk mengetahui saham-saham apa saja yang termasuk saham Syariah karena DES adalah satu-satunya rujukan tentang daftar saham Syariah di Indonesia. Keberadaan DES tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh BEI dengan meluncurkan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) pada tanggal 12 Mei 2011. Konstituen ISSI terdiri dari seluruh saham Syariah yang tercatat di BEI.

Pada tahun yang sama, tepatnya 8 Maret 2011, DSN-MUI telah menerbitkan Fatwa No. 80 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanime Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek. Dengan adanya fatwa tersebut, seharusnya dapat meningkatkan keyakinan masyarakat bahwa investasi Syariah di pasar modal Indonesia sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah sepanjang memenuhi kriteria yang ada di dalam fatwa tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya fatwa, BEI telah mengembangkan suatu model perdagangan online yang sesuai Syariah untuk diaplikasikan oleh Anggota Bursa (AB) pada September 2011. Dengan adanya sistem ini, maka perkembangan investasi Syariah di pasar modal Indonesia diharapkan semakin meningkat karena investor akan semakin mudah dan nyaman dalam melakukan perdagangan saham secara SyariahEfek Syariah

Berdasarkan Peraturan Bapepam & LK No IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, khususnya ayat 1.a.3, yang di maksud dengan Efek Syariah adalah Efek sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang akad, cara, dan kegiatan usaha yang menjadi landasan penerbitannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Dalam peraturan yang sama, khususnya ayat 1.a.2, dijelaskan juga pengertian dari prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yaitu prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa DSN-MUI, sepanjang fatwa di maksud tidak bertentangan dengan Peraturan ini dan/atau Peraturan Bapepam dan LK yang didasarkan pada fatwa DSN-MUI.

Indeks Saham Syariah Indonesia

Indeks saham Syariah adalah indikator yang menunjukkan kinerja/pergerakan indeks harga saham Syariah yang ada di Bursa Efek Indonesia. Sejak 12 Mei 2011, BEI mempunyai dua indeks harga saham Syariah, yaitu Jakarta Islamic Index (JII) dan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).

Fatwa dan Landasan Hukum

Berbeda dengan Efek lainnya, selain landasan hukum, baik berupa peraturan maupun Undang-Undang, perlu terdapat landasan fatwa yang dapat dijadikan sebagai rujukan ditetapkannya Efek Syariah. Landasan fatwa diperlukan sebagai dasar untuk menetapkan prinsip-prinsip Syariah yang dapat diterapkan di pasar modal.