2A KOMPAK, KOCAK, KEREN!
Lingkungan perkuliahan bukan sekadar ruang akademik, melainkan juga ruang sosial tempat mahasiswa membentuk identitas kolektif dan membangun jejaring emosional. Dalam konteks kelas 2A, suasana pertemanan yang terbentuk antara mahasiswa seperti Gustiani Paliya, Usman Pulao, Adelia Tri Nurfatul Saidi, dan Aswiti Paputungan merepresentasikan nilai-nilai solidaritas, dukungan emosional, dan kekompakan yang khas dalam kehidupan kampus. Persahabatan semacam ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Haemmerli, Bréthaut, dan Ezbakhe (2024), mencerminkan relasi yang dibangun atas dasar kepercayaan dan pengalaman bersama, yang dapat memperkuat kemampuan kolaboratif dalam menyikapi tantangan akademik maupun sosial.
Kekompakan antar mahasiswa 2A tercermin dari berbagai interaksi dalam proyek kelompok, kegiatan kemahasiswaan seperti P2MW, maupun sekadar rutinitas kuliah yang penuh warna. Kolaborasi aktif yang ditunjukkan oleh Adelia Suimu, Aulia Ramadhani, dan Safa Azahra Damogalad menunjukkan bagaimana dinamika kelas dapat menjadi laboratorium sosial yang efektif dalam melatih kepemimpinan, komunikasi, dan tanggung jawab kolektif. Fenomena ini diperkuat oleh argumen Crilly (2018) yang menegaskan bahwa keberhasilan sosial dan akademik di lingkungan kelas sering kali lebih ditentukan oleh kekuatan jaringan sosial yang terbangun di antara mahasiswa.
Di balik interaksi akademik, mahasiswa juga sering menjadi tempat saling berbagi cerita personal, tekanan emosional, dan saran kehidupan. Ketika Priskawati Abdulah, Tesalonika Cristiani Oro, atau Syntia Nursyahbani menghadapi situasi sulit, respons teman sekelas yang hadir memberi dukungan emosional mencerminkan bentuk empati fungsional yang penting dalam perkembangan sosial mahasiswa. Hu et al. (2024) mengungkapkan bahwa keterlibatan emosional dalam menyikapi kondisi teman sebaya dapat memengaruhi kedalaman nasihat yang diberikan serta meningkatkan ikatan sosial di antara mereka.
Kenangan yang terbentuk dalam kelas 2A dari canda tawa Putri Tika, semangat Reyfika Adelia Ali, hingga kreativitas Fadillah Salsabila Momonto dan Natasya Salsabila Mokodongan bukan sekadar memori temporer, tetapi fondasi dari solidaritas yang akan bertahan melewati masa studi. Dalam penelitian Tovares dan Kulbayeva (2022), interaksi teman dalam konteks percakapan informal seperti berbagi keluh kesah maupun bercanda, membentuk komunitas emosional yang memperkuat kohesi sosial. Dengan demikian, harapan yang dimiliki mahasiswa 2A bukan hanya tentang pencapaian akademik individual, tetapi juga harapan kolektif untuk mempertahankan dinamika positif dan saling mendukung yang telah terbangun.
Peran mahasiswa lain seperti Melansyah Adam, Septian Hunta, Raplianto Toliwu, dan Fratiwi Patalangi semakin memperkaya dinamika kelas dengan karakter dan kontribusi masing-masing. Dalam konteks pendidikan tinggi, komunitas seperti kelas 2A tidak hanya menjadi tempat belajar formal, tetapi juga arena untuk pembentukan nilai-nilai kemanusiaan yang esensial mulai dari empati, resiliensi sosial, hingga etika kolektif. Maka, predikat “Kompak, Kocak, Keren” bukan sekadar label, melainkan representasi identitas kolektif yang terbangun melalui relasi yang tulus dan partisipatif di kalangan mahasiswa.
Komparasi Profesi Konselor di Inggris
Profesi konselor di Inggris berkembang dalam kerangka sistem yang terstruktur dan terintegrasi dengan kebijakan publik, pendidikan, serta hukum. Salah satu tonggak penting dalam penguatan peran konselor di lingkungan pendidikan adalah diberlakukannya The Children Act 2004, yang menekankan pentingnya perlindungan anak dan koordinasi lintas lembaga dalam memastikan kesejahteraan peserta didik. Kebijakan ini memberikan legitimasi yang lebih kuat terhadap keberadaan layanan konseling di sekolah, khususnya dalam menangani isu-isu kesejahteraan emosional dan sosial siswa (Jenkins & Polat, 2006).
Seiring dengan itu, peran konselor di Inggris tidak terbatas pada konteks pendidikan semata, tetapi juga mencakup bidang layanan karier, kesehatan mental, dan sektor sosial lainnya. Bimrose dan Hughes (2015) menekankan bahwa keberadaan konselor di Inggris sangat bergantung pada kompetensi lintas konteks, yang diperoleh melalui pendidikan formal dan pelatihan berkelanjutan yang sesuai dengan standar nasional. Konselor diharapkan mampu beradaptasi dengan berbagai pendekatan teoritis dan praktik berbasis bukti, termasuk konseling kognitif-behavioral, pendekatan humanistik, serta psikodinamik, yang diterapkan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan klien.
Selain aspek praktis dan pendidikan, dimensi hukum dan etika juga memainkan peran penting dalam membentuk praktik profesional konselor di Inggris. Dalam hal ini, pemahaman konselor terhadap hukum profesional, khususnya terkait privasi, kerahasiaan, dan perlindungan anak, menjadi elemen krusial yang membedakan profesi ini dari bentuk layanan non-profesional. The Counseling Profession (2025) menjelaskan bahwa konselor harus senantiasa menyeimbangkan antara kepentingan hukum dan etika dengan kebutuhan individu yang mereka layani, dalam rangka menjamin keselamatan, hak, dan martabat klien secara menyeluruh.Secara umum, baik di Inggris maupun Indonesia, profesi konselor memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan layanan psikologis dan sosial untuk membantu individu mengatasi berbagai permasalahan pribadi, pendidikan, maupun karier. Kedua negara sama-sama mengakui pentingnya peran konselor dalam mendukung kesejahteraan psikologis dan perkembangan individu, terutama di lingkungan pendidikan. Di Indonesia, fungsi ini diakomodasi melalui kebijakan bimbingan dan konseling yang diterapkan di sekolah-sekolah, sejalan dengan pendekatan di Inggris yang juga menekankan intervensi konseling pada konteks pendidikan dasar dan menengah (Jenkins & Polat, 2006; Bimrose & Hughes, 2015).Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar dalam struktur kelembagaan, standar profesi, dan landasan hukum yang mendukung praktik konseling di kedua negara. Di Inggris, profesi konselor diatur secara ketat melalui lembaga profesional seperti British Association for Counselling and Psychotherapy (BACP), dengan sistem sertifikasi dan lisensi yang terstandarisasi secara nasional. Konselor diwajibkan mengikuti pelatihan formal, praktik terawasi, serta pengembangan profesional berkelanjutan untuk mempertahankan status profesional mereka (Bimrose & Hughes, 2015). Sementara itu, di Indonesia, regulasi terhadap profesi konselor diatur melalui Permendikbud dan didukung oleh organisasi seperti Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), namun belum memiliki sistem sertifikasi nasional yang seketat Inggris, terutama dalam hal pengawasan praktik dan kode etik.
Dari sisi hukum, perbedaan juga tampak dalam perlindungan hukum bagi profesi dan klien. Di Inggris, konselor wajib memahami hukum profesional, termasuk implikasi dari The Children Act 2004 dan kewajiban hukum dalam menjaga kerahasiaan serta keselamatan klien (The Counseling Profession, 2025). Di Indonesia, meskipun terdapat rambu-rambu etik dan prinsip kerahasiaan, implementasinya masih sering bersifat internal dan belum secara eksplisit dijabarkan dalam sistem hukum positif nasional, sehingga perlindungan hukum bagi konselor dan klien belum sekomprehensif sistem di Inggris.
Selain itu, pendekatan konseling yang digunakan di kedua negara juga mencerminkan konteks budaya masing-masing. Di Inggris, pendekatan konseling bersifat eklektik dan berbasis bukti, dengan pemanfaatan teknik yang disesuaikan dengan latar belakang klien yang multikultural (Bimrose & Hughes, 2015). Sementara itu, di Indonesia, pendekatan konseling cenderung mengadopsi model-model barat namun masih mencari bentuk ideal yang selaras dengan nilai-nilai lokal dan kearifan budaya bangsa.
Dengan demikian, meskipun terdapat kesamaan dalam esensi profesi konseling sebagai layanan yang mendukung perkembangan dan kesejahteraan individu, Inggris dan Indonesia menunjukkan perbedaan signifikan dalam sistem regulasi, pelatihan profesional, serta konteks hukum dan budaya yang membingkai praktik konseling. Perbandingan ini menunjukkan pentingnya penguatan sistem legal dan profesionalisme di Indonesia agar dapat mendekati standar internasional tanpa mengabaikan identitas dan kebutuhan lokal.
Daftar Pustaka
Jenkins, P., & Polat, F. (2006). The Children Act 2004 and implications for counselling in schools in England and Wales. Pastoral Care in Education, 24(2), 7-14.
Bimrose, J., & Hughes, D. (2015). Counseling in England. In Counseling Around the World (pp. 183–191). doi:10.1002/9781119222736.ch20
The Counseling Profession. (2025). In The Counselor and the law (pp. 21–40). doi:10.1002/9781394347384.ch2
Komparasi profesi konselor di swiss
Profesi konselor di Swiss menunjukkan perkembangan yang kompleks dan historis, dengan dinamika yang dipengaruhi oleh perubahan sosial, budaya, dan profesional. Di masa lalu, praktik konseling di Swiss cenderung bersifat terfragmentasi dan dipengaruhi oleh dominasi pendekatan psikoanalitik serta posisi yang kuat dari profesi psikiatri (Thomas & Henning, 2012). Hal ini menciptakan batasan yang cukup ketat bagi profesi konselor dalam memperoleh legitimasi, terutama dalam kerangka intervensi psikologis yang bersinggungan dengan isu kesehatan mental.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, profesi konselor di Swiss mengalami proses profesionalisasi yang signifikan. Thomas dan Henning (2012) mencatat bahwa pembentukan lembaga pelatihan khusus, sistem sertifikasi, serta asosiasi profesi seperti Swiss Counseling Association telah menjadi fondasi penting bagi penguatan identitas profesi ini. Di samping itu, pergeseran masyarakat menuju nilai-nilai multikulturalisme, inklusivitas, dan hak asasi manusia telah memperluas cakupan layanan konselor, termasuk dalam menangani isu-isu seperti orientasi seksual dan integrasi sosial.
Rauchfleisch (2003) menyoroti bahwa perubahan sikap dalam profesi kesehatan mental di Swiss, termasuk di dalamnya konselor, terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti homoseksual, merupakan indikator penting dari perkembangan etika dan kompetensi profesi. Dalam hal ini, konselor di Swiss dituntut untuk memiliki sensitivitas budaya dan pemahaman psikososial yang lebih luas dibandingkan pendekatan-pendekatan konvensional. Ini menjadi salah satu aspek yang membedakan praktik konseling di Swiss dari banyak negara lain, termasuk Indonesia, yang cenderung masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan perspektif keberagaman dalam layanan konseling.
Meskipun terdapat perbedaan struktural, terdapat pula sejumlah persamaan antara profesi konselor di Swiss dan Indonesia. Keduanya menempatkan peran konselor sebagai fasilitator dalam membantu individu mencapai kesejahteraan psikologis dan pengembangan diri. Baik di Swiss maupun Indonesia, konselor diharapkan memiliki kompetensi dalam membangun hubungan empatik, melakukan asesmen, serta menyusun intervensi yang sesuai dengan kebutuhan klien. Selain itu, kedua negara juga tengah mengembangkan sistem pelatihan profesi yang menekankan pada kode etik, supervisi, dan pembelajaran berkelanjutan meskipun pada tahapan dan konteks implementasi yang berbeda. Seperti halnya di Swiss yang mulai menekankan keberagaman budaya dan orientasi, Indonesia pun secara perlahan mulai mengintegrasikan pendekatan multikultural dalam pendidikan dan praktik konseling, terutama dalam konteks masyarakat yang heterogen.
Dengan demikian, profesi konselor di Swiss dapat dijadikan model pengembangan profesionalisme yang berorientasi pada pendekatan interdisipliner dan kepekaan sosial. Perubahan sikap institusional terhadap isu-isu psikososial yang kompleks, seperti yang ditunjukkan dalam studi Rauchfleisch (2003), menandai transformasi penting dalam praktik konseling di Swiss yakni dari model klinis yang tertutup menuju praktik inklusif yang berpihak pada kesejahteraan individu dalam berbagai konteks kehidupan. Sementara itu, Indonesia memiliki potensi untuk terus memperkuat struktur profesi konselor dengan memperluas cakupan layanan di luar ranah pendidikan, serta mendorong adopsi nilai-nilai profesionalisme dan etika global dalam praktik konseling.
Daftar Pustaka
Rauchfleisch, U. (2003). Psychiatric, psychoanalytic, and mental health profession attitudes toward homosexuality in Switzerland. Journal of Gay & Lesbian Psychotherapy, 7(1-2), 47-54.
Thomas, R., & Henning, S. (2012). Counseling in Switzerland: past, present, and future. Journal of Counseling & Development, 90(4), 505-509.
Komparasi Profesi Konselor di India
Profesi konselor di India telah mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa dekade terakhir, seiring meningkatnya kebutuhan akan layanan kesehatan mental yang profesional dan terstandarisasi. Meskipun demikian, sistem dan kerangka kerja profesi konselor di India masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan regulatif yang berdampak pada pelaksanaan praktik konseling secara optimal.
Salah satu aspek penting dalam memahami profesi konselor di India adalah kondisi lingkungan kerja dan persepsi profesional terhadap fasilitas fisik serta dukungan kelembagaan. Penelitian Dey dan Kumar (2020) menunjukkan bahwa banyak konselor di India menghadapi keterbatasan dalam hal ruang konseling yang aman, privat, dan mendukung relasi terapeutik yang sehat. Fasilitas fisik yang kurang memadai dapat memengaruhi kualitas hubungan antara konselor dan klien, serta efektivitas proses konseling itu sendiri.
Selain aspek lingkungan kerja, gambaran umum tentang kondisi profesi konselor di India diungkapkan melalui survei nasional yang dilakukan oleh Bedi et al. (2020). Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar konselor di India masih menghadapi tantangan dalam hal pengakuan profesional, kurangnya jalur karier yang jelas, serta keterbatasan kesempatan supervisi dan pelatihan berkelanjutan. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk penguatan institusi pelatihan dan kebijakan nasional yang mendukung perkembangan profesi konseling sebagai bagian integral dari sistem kesehatan dan pendidikan.
Lebih lanjut, aspek legalitas profesi juga menjadi sorotan penting dalam konteks India. Gautam (2024) menggarisbawahi bahwa profesi konselor dan psikoterapis di India belum memiliki kerangka hukum yang kuat dan spesifik seperti halnya profesi medis atau hukum. Meskipun terdapat lembaga seperti Rehabilitation Council of India (RCI), cakupan regulasinya masih terbatas dan belum mampu menjamin standar yang seragam bagi semua praktisi konseling. Ketiadaan sistem lisensi nasional yang konsisten menjadi hambatan dalam menjamin kualitas layanan serta perlindungan bagi klien.
Di samping itu, dinamika perkembangan profesional individu konselor juga turut memengaruhi kualitas layanan. Kumaria, Bhola, dan Orlinsky (2018) mencatat bahwa proses pembentukan identitas profesional konselor di India banyak dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, supervisi informal, serta pencarian makna dalam praktik klinis. Namun, keterbatasan akses terhadap pendidikan formal berkualitas dan kurangnya sistem akreditasi yang kuat turut memperlambat konsolidasi identitas profesional ini dalam skala nasional.
Dengan membandingkan kondisi tersebut dengan profesi konselor di negara lain seperti Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun India menunjukkan kemajuan dalam pengembangan profesi konseling, negara ini masih menghadapi tantangan dalam aspek legalitas, infrastruktur, dan profesionalisasi yang berkelanjutan. Situasi ini memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam merancang kebijakan penguatan profesi konselor secara sistemik, mulai dari peningkatan kualitas pendidikan, standarisasi layanan, hingga pembentukan kerangka hukum yang inklusif dan berpihak pada perlindungan klien serta konselor itu sendiri.
Indikator Ganteng Menurut Pak Jumadi: Punya Cewek di Jurusan Bimbingan dan Konseling
Dalam kehidupan kampus, istilah "ganteng" sering kali tidak hanya merujuk pada penampilan fisik. Kegantengan bisa dinilai dari gaya berbicara, kecerdasan, kepercayaan diri, bahkan status sosial. Namun, sebuah pernyataan menarik keluar dari mulut Pak Jumadi, seorang figur yang dikenal di kalangan mahasiswa: “Indikator ganteng itu kalau kamu punya cewek di jurusan Bimbingan dan Konseling.” Pernyataan ini tentu mengundang senyum, tawa, dan juga tanda tanya.
Fenomena ini mencerminkan betapa standar kegantengan bisa sangat kontekstual dan bahkan unik. Di balik kesan candaan, tersimpan sebuah konstruksi sosial yang layak dikaji. Mengapa memiliki pasangan di jurusan tertentu bisa dianggap sebagai penanda kegantengan? Apakah ini mencerminkan relasi kuasa, status sosial, atau sekadar stereotip yang berkembang di lingkungan kampus?
Secara sosiologis, pernyataan semacam ini menggambarkan bagaimana simbol-simbol sosial dibentuk dan diwariskan. Dalam hal ini, jurusan Bimbingan dan Konseling (BK) tampak memiliki daya tarik tersendiri. Bisa jadi karena citra mahasiswa jurusan BK yang dikenal ramah, empatik, dan komunikatif sehingga memiliki pasangan dari jurusan ini dianggap sebagai “prestasi sosial” tersendiri. Namun, makna di balik pernyataan tersebut bisa beragam tergantung dari sudut pandang mahasiswa. Beberapa mungkin menanggapinya sebagai candaan yang mempererat hubungan dosen-mahasiswa. Sementara yang lain bisa saja mengkritisinya karena mengandung stereotip gender atau membangun ekspektasi sosial yang kurang relevan.
Untuk itu, penting dilakukan refleksi terhadap bagaimana mahasiswa memaknai indikator ganteng seperti ini, dan sejauh mana pengaruhnya terhadap interaksi sosial di kampus. Apakah hal ini memperkuat rasa percaya diri seseorang? Atau justru menimbulkan tekanan sosial bagi mereka yang belum memenuhi “standar ganteng” versi Pak Jumadi?. Dari sudut pandang akademik, pernyataan ini membuka ruang kajian tentang bagaimana konstruksi sosial terbentuk dalam lingkungan pendidikan tinggi. Konsep ganteng yang sebelumnya mungkin hanya dikaitkan dengan wajah rupawan atau tubuh ideal, kini turut melibatkan aspek sosial seperti status relasi dengan mahasiswa dari jurusan tertentu.
Secara teoritis, tulisan ini dapat memperkaya diskusi mengenai citra diri (self-image) dan dinamika sosial antar mahasiswa. Sedangkan secara praktis, refleksi dari fenomena ini dapat menjadi pengingat agar interaksi di lingkungan kampus tetap sehat, egaliter, dan tidak terjebak dalam stereotip yang bisa menyempitkan makna relasi antarindividu. Pada akhirnya, ganteng bukan soal punya pacar di jurusan mana, melainkan soal bagaimana seseorang membawa diri dengan baik, menghargai orang lain, dan mampu membangun relasi sosial yang positif. Dan mungkin, bagi Pak Jumadi, punya cewek di jurusan BK adalah metafora dari keberhasilan seseorang dalam membangun relasi yang berkualitas atau bisa jadi, sekadar candaan khas ruang dosen yang penuh kehangatan.