ARSIP BULANAN : January 2025

KONSELING THERAPY DENGAN NONTON KARTUN

24 January 2025 22:02:38 Dibaca : 43

Pendekatan terapi dalam konseling terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan budaya populer. Salah satu metode yang mulai mendapat perhatian adalah konseling terapi dengan menonton kartun. Kartun tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki potensi terapeutik yang dapat digunakan dalam konteks konseling untuk membantu individu dalam mengelola emosi dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Menurut Buchan (2012), kartun komedi memiliki elemen teatrikal yang dapat merangsang respons emosional dan kognitif pada penontonnya. Dalam konteks konseling, unsur komedi dalam kartun dapat digunakan untuk mengurangi tingkat stres dan kecemasan klien dengan menciptakan suasana yang lebih santai dan mendukung proses terapeutik. Humor yang terdapat dalam kartun dapat membantu individu dalam menghadapi tantangan hidup dengan cara yang lebih ringan dan positif.

Deger (2011) dalam penelitiannya tentang keterlibatan partisipatif dalam menonton film menyatakan bahwa pengalaman menonton secara kolektif dapat meningkatkan rasa keterhubungan sosial dan memperkuat identitas individu. Menonton kartun secara bersama-sama dalam sesi terapi dapat memberikan kesempatan bagi individu untuk berbagi pengalaman dan emosi mereka secara lebih terbuka. Hal ini juga dapat memperkuat ikatan sosial dan menciptakan rasa kebersamaan yang bermanfaat bagi proses konseling. Lebih lanjut, Inglis (2012) menyoroti bagaimana musik dalam film, termasuk kartun, dapat mempengaruhi emosi dan suasana hati penonton. Musik yang diintegrasikan dalam kartun sering kali membantu dalam mengatur emosi, yang dapat dimanfaatkan dalam sesi konseling untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi refleksi dan eksplorasi diri. Dengan demikian, penggunaan kartun yang memiliki elemen musik yang sesuai dapat membantu menciptakan lingkungan terapeutik yang mendukung proses konseling secara keseluruhan.

Implikasi dalam Konseling

Pendekatan konseling terapi dengan menonton kartun dapat diterapkan dalam berbagai konteks, terutama dalam konseling anak dan remaja. Kartun sering kali menyampaikan pesan moral yang relevan dengan perkembangan emosional anak dan remaja, sehingga dapat menjadi alat yang efektif dalam membantu mereka memahami perasaan dan perilaku mereka. Selain itu, menonton kartun yang bersifat humoris dapat digunakan sebagai teknik relaksasi yang bermanfaat dalam mengurangi stres dan kecemasan pada klien dewasa. Aktivitas menonton kartun secara bersama juga dapat memperkuat dinamika kelompok dalam sesi terapi kelompok, sehingga komunikasi yang lebih terbuka di antara anggota kelompok dapat terjalin dengan lebih baik.

Kesimpulan

Konseling terapi dengan menonton kartun merupakan pendekatan inovatif yang memiliki potensi besar dalam mendukung proses konseling. Dengan mempertimbangkan elemen teatrikal, partisipatif, dan musikal yang terdapat dalam kartun, konselor dapat memanfaatkan media ini untuk menciptakan intervensi yang lebih menarik dan efektif bagi klien. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi efektivitas metode ini dalam berbagai setting konseling.

DAFTAR PUSTAKA

Buchan, S. (2012). Theatrical Cartoon Comedy. In A Companion to Film Comedy (pp. 521–543). doi:10.1002/9781118327821.ch24

Deger, J. (2011). Participatory Vision: Watching Movies with Yolngu. In The Handbook of Media Audiences (pp. 459–471). doi:10.1002/9781444340525.ch23

Inglis, I. (2012). Music into Movies. In A Companion to Literature, Film, and Adaptation (pp. 312–329). doi:10.1002/9781118312032.ch17

Perempuan dalam Bayang Malam

24 January 2025 18:03:32 Dibaca : 27

Fenomena perempuan yang bekerja di dunia malam merupakan isu kompleks yang melibatkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Di balik gemerlap kehidupan malam, terdapat realitas yang sering kali tersembunyi dari pandangan publik, seperti tekanan ekonomi, keterbatasan pendidikan, hingga stereotip sosial yang melekat pada perempuan di sektor ini. Menurut Hatty (1989), perempuan yang terlibat dalam dunia malam kerap menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis. Kekerasan ini tidak hanya berasal dari lingkungan kerja mereka, tetapi juga dari stigma sosial yang mengakar kuat di masyarakat. Sementara itu, penelitian oleh Kao et al. (1997) menunjukkan bahwa perempuan di sektor ini juga berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan, seperti infeksi virus hepatitis G yang kemungkinan besar ditularkan melalui kontak seksual.

Dalam konteks historis, Paik (2022) menyoroti bagaimana perempuan yang bekerja di dunia malam di India sering kali dikaitkan dengan sistem kasta yang memperburuk kondisi sosial dan ekonomi mereka. Selain itu, Lubove (1962) mencatat bahwa gerakan progresif di Amerika Serikat pernah berupaya untuk merehabilitasi perempuan dalam dunia malam melalui berbagai program sosial dan pendidikan. Dari perspektif religius dan budaya, Leite (1996) mengungkapkan bahwa di Brasil, perempuan yang bekerja di dunia malam memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan religius tertentu yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap mereka. Chase & Teasley (1995) bahkan mengaitkan perempuan dalam dunia malam dengan simbolisme dalam cerita rakyat, seperti dongeng "Little Red Riding Hood," yang mencerminkan bagaimana masyarakat membentuk persepsi tentang perempuan dalam konteks seksualitas. Dari sisi psikologis, perempuan dalam dunia malam dihadapkan pada tekanan emosional yang signifikan. Ketidakstabilan jam kerja, ekspektasi sosial yang tinggi, serta risiko kesehatan fisik dan mental menjadi tantangan yang kerap dihadapi. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan sosial dan kebijakan yang inklusif untuk melindungi hak-hak mereka.

Oleh sebab itu, perlu adanya pendekatan yang lebih holistik dalam memahami fenomena ini. Dukungan berupa pelatihan keterampilan, akses terhadap pendidikan, serta perlindungan hukum yang memadai merupakan langkah penting dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan yang bekerja di dunia malam. Dengan demikian, kebijakan yang inklusif dan berbasis pada kesetaraan gender dapat membantu mereka keluar dari bayang-bayang stigma dan memberikan peluang yang lebih baik di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Hatty, S. (1989). Violence Against Prostitute Women: Social and Legal Dilemmas. Australian Journal of Social Issues, 24(4), 235–248. doi:10.1002/j.1839-4655.1989.tb00867.x

Kao, J. H., Chen, W., Chen, P. J., Lai, M. Y., Lin, R. Y., & Chen, D. S. (1997). GB virus-C/hepatitis G virus infection in prostitutes: Possible role of sexual transmission. Journal of Medical Virology, 52(4), 381–384. doi:10.1002/(SICI)1096-9071(199708)52:4<381::AID-JMV6>3.0.CO;2-Y

THE PROBLEM OF THE PROSTITUTE. (1918). Medical Journal of Australia, 1(9), 176–176. doi:10.5694/j.1326-5377.1918.tb11382.x

Paik, S. (2022). Dr Ambedkar and the ‘Prostitute’: Caste, Sexuality and Humanity in Modern India. Gender & History, 34(2), 437–457. doi:10.1111/1468-0424.12557

Lubove, R. (1962). The Progressives and the Prostitute. Historian, 24(3), 308–330. doi:10.1111/j.1540-6563.1962.tb01725.x

Chase, R., Jr, & Teasley, D. (1995). Little Red Riding Hood: Werewolf and Prostitute. Historian, 57(4), 769–776. doi:10.1111/j.1540-6563.1995.tb01367.x

Arnett, A. A. (2024). Exploring Love and Sexuality as the Daughter of a Prostitute. Women in Higher Education, 33(6), 6–6. doi:10.1002/whe.21411

Leite, G. S. (1996). THE PROSTITUTE MOVEMENT IN BRAZIL: CULTURE AND RELIGIOSITY. International Review of Mission, 85(338), 417–426. doi:10.1111/j.1758-6631.1996.tb02748.x

Aku, Kamu, dan Malam yang Tak Bernama

24 January 2025 17:53:16 Dibaca : 25

MOHAMAD RIADI MUSLIM

Di antara bisik angin yang berlarian, kita berdiri dalam sunyi yang terlalu bising.

Aku menatap langit tanpa nama, sementara kau mencari arti dalam diam.

Malam ini, waktu merayap tanpa permisi, menguraikan rindu dalam garis-garis cahaya.

Bintang-bintang bertanya tanpa suara, tentang kita, yang entah di mana jalannya.

Kau hadir seperti bayang yang tak sepenuhnya nyata, membawa sejumput kenangan yang tak ingin pulang.

Aku menggenggamnya erat dalam dada, meski tahu, perlahan ia akan menghilang.

Di sudut kota yang asing dan samar, jejak langkah kita berbisik pada trotoar, tentang janji-janji yang tak pernah terucap, tentang harapan yang menggantung di angan.

Namun malam ini, kita hanyalah cerita, tanpa judul, tanpa akhir yang pasti. Aku, kamu, dan malam yang tak bernama, sekadar kisah yang terlupa oleh waktu.

Terjebak dalam Dua Cinta

24 January 2025 17:48:08 Dibaca : 27

Fenomena mencintai dua orang sekaligus merupakan topik yang kompleks dan sering kali menimbulkan dilema emosional maupun moral. Dalam konteks psikologi, perasaan cinta yang terbagi kepada dua individu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan emosional yang berbeda, keterikatan yang tumbuh dari pengalaman bersama, dan kondisi psikologis individu yang memungkinkan keterbukaan terhadap lebih dari satu hubungan. Menurut Hanson (2022), konsep cinta ganda dapat dipahami melalui perspektif etika cinta sesama manusia yang menekankan pada spiritualisasi cinta romantis sebagai bentuk cinta yang lebih luas. Dalam karyanya, Hanson menyoroti bahwa perasaan cinta kepada dua orang tidak selalu bermakna ketidaksetiaan, melainkan dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi cinta yang kompleks dan multidimensional.

Dari perspektif historis, Luskin (2023) dalam studinya tentang karya seni Renaissance, seperti "Titian's Bacchus and his Two Loves," mengungkapkan bahwa fenomena cinta segitiga telah lama menjadi subjek eksplorasi budaya. Ia berargumen bahwa kecenderungan manusia untuk mencintai lebih dari satu orang sering kali terkait dengan pencarian identitas dan pemenuhan diri. Secara akademik, teori psikologi cinta dari Sternberg (1986) yang dikenal dengan "Triangular Theory of Love" menjelaskan bahwa cinta terdiri dari tiga komponen utama: keintiman, gairah, dan komitmen. Dalam beberapa kasus, individu dapat merasakan keintiman dengan satu orang, tetapi gairah dengan yang lain, sehingga menciptakan kompleksitas dalam hubungan interpersonal.

Dalam bidang filsafat moral, Cladis (2000) meneliti bagaimana konsep cinta dalam pemikiran moral abad ke-18, seperti yang diungkapkan oleh Rousseau, dapat memberikan wawasan tentang dilema yang dihadapi oleh individu yang terjebak dalam dua cinta. Rousseau menekankan bahwa cinta bukan hanya soal kepemilikan tetapi juga tentang kebebasan dan keautentikan diri dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dampak dari terjebak dalam dua cinta dapat mencakup konflik internal, stres emosional, dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang matang dalam memahami perasaan tersebut serta mencari solusi yang tidak merugikan semua pihak yang terlibat.

Dalam penelitian terbaru, beberapa studi menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka dan kejujuran dalam hubungan menjadi kunci dalam mengelola situasi ini. Hal ini didukung oleh temuan dari jurnal-jurnal psikologi yang menekankan pentingnya keterbukaan emosional dalam hubungan yang sehat.

Pendidikan masa kini menghadapi berbagai tantangan dan peluang di tengah dinamika dunia yang serba cepat. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, sistem pendidikan dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan agar tetap relevan dan efektif.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ampah-Mensah et al. (2024), implementasi kebijakan pendidikan sangat bergantung pada keterlibatan struktur pendidikan berbasis komunitas dan distrik. Keterlibatan aktor-aktor lokal ini menjadi kunci dalam menjamin efektivitas kebijakan yang diterapkan di tingkat nasional. Oleh karena itu, penting bagi sistem pendidikan untuk membangun sinergi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan komunitas setempat guna meningkatkan kualitas pendidikan secara holistik. Di sisi lain, tekanan akademik dan kejenuhan menjadi tantangan yang signifikan, terutama bagi mahasiswa pendidikan jarak jauh, sebagaimana yang diungkapkan oleh Maison (2024). Studi ini menunjukkan bahwa tekanan akademik yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan yang berdampak pada performa akademik mahasiswa. Hal ini menyoroti perlunya strategi manajemen stres yang efektif serta dukungan psikologis bagi para peserta didik agar mereka dapat mencapai hasil belajar yang optimal.

Selain itu, pendidikan inklusif menjadi fokus utama dalam upaya menciptakan sistem yang lebih adil dan merata. Ali et al. (2024) menyoroti pentingnya sikap guru dalam mendukung pendidikan inklusif di sekolah dasar. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa penerapan pendidikan inklusif yang berhasil sangat bergantung pada kesiapan guru dalam memahami dan menerapkan model pendidikan yang inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Lebih lanjut, penelitian oleh Cao (2024) menekankan pentingnya pengembangan sumber daya manusia melalui klaster pendidikan yang melibatkan universitas dan pemangku kepentingan regional di Tiongkok. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana keterlibatan universitas dalam ekosistem lokal dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.  Di tingkat pendidikan tinggi, tantangan dalam penerapan pembelajaran jarak jauh selama pandemi telah memberikan wawasan berharga mengenai inovasi pendidikan. Zani (2024) meneliti pengalaman mahasiswa teknik dalam menghadapi pembelajaran jarak jauh darurat dan menemukan bahwa meskipun terdapat tantangan teknis, ada pula peluang untuk meningkatkan keterampilan digital serta adaptabilitas dalam lingkungan pembelajaran yang dinamis.

Berdasarkan berbagai penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan masa kini berada di persimpangan antara tantangan dan peluang. Dengan memanfaatkan inovasi teknologi, membangun sinergi dengan komunitas, serta memperkuat pendekatan inklusif, sistem pendidikan dapat menjadi lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman.