ARSIP BULANAN : January 2025

SOLIDARITAS PERTEMANAN KELAS B

21 January 2025 02:39:35 Dibaca : 9

SOLIDARITAS PERTEMANAN KELAS BMohamad Riadi Muslim

Kelas B di Perguruan Tinggi Jurusan Bimbingan dan Konseling Angkatan 2022 (Conzztan) adalah kelompok mahasiswa yang sangat beragam dalam hal karakter, minat, dan latar belakang. Meskipun memiliki perbedaan yang jelas, solidaritas mereka terjalin dengan sangat erat. Anggota kelas B yang terdiri dari Fikri, Ayu, Dinda, Idul, Riadi, Jibran Adrian, Yanwar, Widya, Yunda, Chusnul, Alfi, Zidan, Elda, Feltia, Acin, dan Mitra menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan justru kekuatan yang membuat mereka saling mendukung dan bekerja sama.

Adrian, yang cenderung pendiam, memiliki pemikiran yang mendalam tentang banyak hal, meskipun terkadang merasa sesat dalam kehidupannya. Meskipun terlihat tenang, ia sering kali merasa kesulitan untuk menyampaikan perasaannya. Yunda, mantan pacarnya, meskipun dikenal dengan mulutnya yang kadang tajam, tetap menjadi orang yang selalu memberikan perhatian kepada Adrian. Yunda adalah contoh nyata dari seseorang yang bisa bersikap tegas sekaligus penuh perhatian.

Ayu dan Fiki, meskipun memiliki hubungan masa lalu sebagai HTS (Hubungan Tanpa Status), tetap menjaga hubungan profesional dan saling mendukung dalam studi mereka. Ayu, yang memiliki kemampuan analitis yang tajam, sering kali membantu Fiki dalam memahami materi kuliah, sementara Fiki, dengan kemampuan teknisnya, selalu siap membantu Ayu saat ada tugas yang memerlukan keterampilan tertentu.

Elda dan Feltia adalah dua mahasiswa ambisius yang selalu berkompetisi dalam pencapaian akademik. Namun, di balik persaingan tersebut, mereka saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Mereka mengerti bahwa ambisi mereka tidak akan menghalangi mereka untuk menjadi teman yang saling membantu dan mendukung.

Riadi dan Jibran adalah sumber keceriaan di kelas B. Keduanya dikenal sebagai pribadi yang humoris dan seringkali membuat teman-temannya tertawa. Mereka memiliki kemampuan untuk meringankan suasana di kelas yang kadang bisa terasa tegang atau penuh tekanan, terutama saat ujian atau presentasi.

Widya, yang dikenal sebagai "Jenderal" kelas B, selalu memimpin dengan bijak. Sebagai ketua pelindung wanita, ia bertanggung jawab dalam mengatur segala urusan administrasi dan kegiatan akademik kelas. Namun, yang lebih penting adalah cara ia membimbing teman-temannya untuk bekerja sama. Kepemimpinannya selalu mengedepankan kolaborasi dan saling mendukung.

Zidan dan Idul, dua mahasiswa yang rajin dan selalu disiplin, menjadi contoh bagi teman-temannya dalam hal ketekunan dan dedikasi terhadap studi. Mereka adalah individu yang selalu siap membantu, terutama saat teman-temannya mengalami kesulitan dalam memahami materi kuliah.

Yanwar, seorang mahasiswa yang alim dan tenang, seringkali menjadi tempat berbagi bagi teman-temannya yang membutuhkan pendapat atau nasihat. Meskipun tidak banyak bicara, kehadirannya memberi rasa damai dan menenangkan bagi teman-temannya yang tengah mengalami kecemasan atau kebingungan.

Mitra dan Dinda, dua mahasiswa asal Limboto, memiliki ikatan yang kuat sebagai teman dan pendukung satu sama lain. Mereka selalu bekerja sama dalam setiap tugas kelompok, selalu saling membantu untuk mencapai hasil yang terbaik. Kekuatan mereka terletak pada komunikasi dan pemahaman yang mendalam satu sama lain.

Chusnul dan Acin, meskipun memiliki ketertarikan terhadap K-pop, yang kadang dianggap sebagai hal yang kurang relevan dengan jurusan mereka, tetap memiliki tempat di hati teman-temannya. Keduanya dengan terbuka berbagi minat mereka tanpa merasa dihakimi, dan ini menciptakan suasana inklusif dalam kelas yang memandang perbedaan sebagai kekayaan.

Kelas B di jurusan Bimbingan dan Konseling mengajarkan bahwa perbedaan karakter, minat, dan pandangan hidup bukanlah hambatan, melainkan kekuatan yang memperkaya hubungan antar anggotanya. Masing-masing dari mereka memiliki peran yang sangat berarti, baik dalam mendukung pencapaian akademik maupun dalam menjaga solidaritas dan keharmonisan di dalam kelas.

Solidaritas yang terjalin antara anggota kelas B bukan hanya tampak dalam hal studi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Mereka selalu hadir satu sama lain dalam suka dan duka, mendukung teman yang kesulitan, dan merayakan keberhasilan bersama. Mereka saling berbagi beban dan memberikan motivasi, membuat kelas ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah kedua yang penuh dukungan dan kebersamaan.

Melalui perbedaan yang ada, kelas B menunjukkan bahwa dalam solidaritas, tidak ada ruang untuk rasa egois. Semua bekerja sebagai satu kesatuan, membangun hubungan yang kuat berdasarkan saling pengertian dan rasa hormat. Di sinilah nilai persahabatan yang sesungguhnya ditemukan: di tempat di mana setiap individu merasa diterima, dihargai, dan didorong untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Diammu Sempurnakan Segalanya (CERPEN)

21 January 2025 01:44:16 Dibaca : 11

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang penuh ambisi dan dinamika, ada seorang perempuan yang selalu menarik perhatian tanpa perlu bersuara. Namanya Aksa, seorang mahasiswi yang keberadaannya seolah membentuk harmoni di antara riuhnya dunia. Bukan karena kemewahan atau popularitas yang memikat, tetapi karena diamnya yang penuh makna, yang mampu menyempurnakan segalanya di sekelilingnya.Aksa adalah misteri yang tersusun rapi dalam keheningan. Dalam diamnya, ia menyimpan keteguhan, ketabahan, dan kekuatan yang tak terlihat oleh mata biasa. Ia bukan perempuan yang haus akan validasi dunia, tetapi ia memahami betul bagaimana menjadi dirinya sendiri tanpa kehilangan arah. Bagi banyak orang, ia adalah simbol dari sesuatu yang mahal—bukan dalam makna materi, tetapi dalam nilai dan harga diri yang sulit untuk ditakar.

Di mata Arya, teman sekelasnya yang diam-diam mengaguminya, Aksa adalah teka-teki yang ingin selalu dipecahkan. Arya selalu merasa bahwa di setiap diamnya, Aksa sedang berkomunikasi dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang peka. "Mengapa kau begitu sunyi, namun begitu menggetarkan?" tanyanya dalam hati, berkali-kali, saat ia memperhatikan Aksa dari kejauhan.Aksa tidak banyak bicara, tapi saat ia berbicara, setiap kata yang meluncur dari bibirnya adalah cerminan dari pemikiran yang dalam. "Tidak semua hal butuh suara untuk bisa dimengerti," ujarnya suatu ketika, saat Arya mencoba mendesaknya untuk berbagi isi pikirannya. Kalimat itu menghantam kesadaran Arya, menyadarkannya bahwa terkadang kesempurnaan hadir dalam bentuk yang tak terduga—dalam diam yang menenangkan.

Namun di balik diamnya, Aksa menyimpan banyak luka yang tak pernah terucap. Luka dari ekspektasi yang terlalu tinggi, dari harapan yang ia bangun sendiri, dan dari dunia yang terus bergerak tanpa pernah menunggu. Ia memilih diam bukan karena ia tidak tahu cara berbicara, tetapi karena ia telah memahami bahwa kadang diam adalah satu-satunya jalan untuk bertahan.Arya, dengan segala kekagumannya, ingin masuk lebih dalam ke dunia Aksa. Ia ingin memahami apa yang tersembunyi di balik kesunyiannya, ingin menemukan alasan mengapa ia lebih memilih diam dibanding menjelaskan. Namun Aksa tetaplah Aksa—sebuah misteri yang tidak bisa dipaksa untuk dipecahkan, melainkan harus didekati dengan kesabaran dan ketulusan.

“Diamku bukan bentuk pelarian,” Aksa pernah berkata, “tetapi cara terbaik untuk menjaga apa yang seharusnya tetap utuh.”

Dalam kisah mereka, tak ada drama yang meledak-ledak, tak ada kata-kata cinta yang diumbar berlebihan. Hanya ada dua hati yang saling memahami dalam cara yang sederhana—satu yang berbicara dengan penuh semangat, dan satu lagi yang diam dengan penuh makna. Dan di antara mereka, diam Aksa tetap menjadi sesuatu yang menyempurnakan segalanya, seperti simfoni yang indah meskipun tak terdengar.

“Karena dalam diam, aku belajar menghargai segala yang tak mampu diungkapkan oleh kata.”

Diammu Sempurnakan Segalanya

21 January 2025 01:39:38 Dibaca : 10

Diammu Sempurnakan Segalanya

Diammu, bukan sekadar ketiadaan suara, namun ketenangan yang menjelma makna. Dalam hening yang kau ciptakan, dunia berbisik tanpa perlu kata.

Tanpa riuh, tanpa paksaan, kau biarkan waktu menata dirinya, merangkai tiap momen dalam ketenangan, seolah segalanya telah pada tempatnya.

Diammu sempurnakan segalanya, membingkai harap dalam ruang kesabaran. Tak perlu gegas untuk menjelaskan, sebab bisu pun memiliki kekuatan.

Saat dunia sibuk menakar arti, kau memilih diam sebagai jawaban. Tak semua harus terungkap dalam kata, karena makna sejati tumbuh dalam sunyi.

Diammu adalah harmoni yang tak terdengar, meredam gemuruh dengan kelembutan. Ia menjelma kebijaksanaan tanpa pamer, mengajarkan arti hadir dalam kesederhanaan.

Biarkan diam menjadi kekuatan, sebuah refleksi dalam kesadaran. Karena dalam diam, kita belajar bahwa kesempurnaan tak selalu bersuara.

Mahasiswi Wanita Mahal

21 January 2025 01:36:54 Dibaca : 9

PUISI

Di koridor ilmu yang megah dan terang,Langkahnya gemulai, anggun menantang.Mahasiswi wanita dengan harga tak ringan,Bukan sekadar materi, namun nilai yang tertanam.

Di ruang diskusi yang sarat pemikiran,Ia hadir dengan wibawa dan kecerdasan.Tiap kata yang terucap, penuh perhitungan,Menjadi simbol dari tekad dan keberanian.

Kemewahan bukan hanya tentang pakaian,Namun dalam wawasan dan tindakan.Ia mahal, sebab dirinya tak ternilai,Oleh dunia yang sering kali memandang sebelah mata.

Di antara gemerlap kota dan tuntutan zaman,Ia berjuang tanpa lelah dan kepalsuan.Kemandirian menjadi mahkota yang ia kenakan,Menghargai diri, tanpa butuh pengakuan.

Bukan emas atau berlian yang menyilaukan,Namun keteguhan prinsip dan kebijakan.Setiap tantangan dijawab dengan ketangguhan,Membangun masa depan dalam genggaman.

Ia mahal, bukan karena berlimpah harta,Namun karena nilai, prinsip, dan cita-cita.Sebentuk inspirasi bagi yang memahami,Bahwa menjadi berharga adalah pilihan hati.

Senioritas Di Kampus: Antara Tradisi, Tekanan, Dan Tantangan Masa Depan

MOHAMAD RIADI MUSLIM

Budaya senioritas di perguruan tinggi merupakan fenomena yang telah lama menjadi bagian dari dinamika kehidupan kampus. Senioritas sering kali dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap mahasiswa yang lebih berpengalaman, tetapi dalam beberapa kasus, praktik ini dapat berkembang menjadi tekanan sosial yang berdampak negatif bagi mahasiswa baru. Studi oleh Braxton, Doyle, dan Lyken-Segosebe (2015) menunjukkan bahwa budaya kampus memiliki pengaruh signifikan terhadap pengalaman mahasiswa baru, termasuk dalam pengambilan keputusan akademik dan sosial mahasiswa.

Mahasiswa baru di perguruan tinggi sering kali menghadapi tekanan dari senior dalam pengambilan keputusan, baik terkait akademik maupun sosial. Penelitian oleh Bryan, Kim, dan Liu (2022) menyoroti bagaimana bimbingan dari individu yang lebih berpengalaman, seperti konselor akademik, dapat membantu mahasiswa dalam mengambil keputusan yang lebih baik terkait pendidikan mereka. Namun, dalam konteks senioritas, tekanan dari senior dapat mengarahkan junior untuk membuat keputusan yang bertentangan dengan keinginan atau potensi mereka sendiri.

Beberapa bentuk pengaruh yang dialami junior antara lain:

1.     Pemilihan organisasi kemahasiswaan yang sesuai dengan preferensi senior.

2.     Keterlibatan dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan minat pribadi.

3.     Penyesuaian sikap dan perilaku agar diterima dalam lingkungan sosial kampus.

Senior sering kali memiliki kewenangan dalam menilai dan mengevaluasi keterlibatan junior dalam berbagai kegiatan kampus. Praktik ini dapat menciptakan standar penilaian yang subjektif dan cenderung tidak adil. Nolan dan Jenkins (2012) menunjukkan bahwa evaluasi berbasis pengalaman dapat memberikan manfaat jika dilakukan dengan pendekatan yang konstruktif, namun dalam praktik senioritas, evaluasi ini sering digunakan sebagai alat untuk menunjukkan dominasi dan mempertahankan hierarki sosial.

Beberapa dampak negatif dari evaluasi subjektif ini meliputi:

1.      Meningkatnya tingkat stres dan kecemasan pada mahasiswa baru.

2.      Ketidakadilan dalam pemberian kesempatan untuk berkembang.

3.      Penghambatan inovasi dan kreativitas akibat tekanan sosial.

Kekerasan fisik dalam budaya senioritas merupakan bentuk ekstrem dari dinamika hubungan senior-junior di perguruan tinggi. Tindakan ini sering kali muncul dalam kegiatan orientasi mahasiswa baru dan aktivitas ekstrakurikuler lainnya. Studi oleh Braxton et al. (2015) menekankan bahwa norma sosial di lingkungan kampus dapat berkontribusi pada keberlanjutan praktik kekerasan jika tidak ada intervensi yang memadai dari pihak institusi.

Dampak kekerasan fisik terhadap junior meliputi:

1.      Trauma psikologis yang berkepanjangan.

2.      Penurunan motivasi akademik dan keterlibatan dalam kegiatan kampus.

3.      Meningkatnya risiko kesehatan fisik dan mental.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Budaya senioritas di perguruan tinggi dapat memberikan dampak yang beragam terhadap mahasiswa baru. Jika tidak dikelola dengan baik, praktik ini dapat menghambat perkembangan individu dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Oleh karena itu, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan, untuk:

  1. Menerapkan kebijakan yang jelas terkait senioritas dan interaksi antar mahasiswa.
  2. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan kampus yang inklusif dan suportif.
  3. Memberikan pelatihan kepada mahasiswa senior dalam hal kepemimpinan yang positif dan mendukung perkembangan junior.

Dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis bukti, diharapkan budaya senioritas dapat menjadi alat yang konstruktif dalam membentuk karakter mahasiswa, bukan sebagai sarana penindasan atau kontrol sosial yang merugikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bryan, J., Kim, J., & Liu, C. (2022). School counseling college-going culture: Counselors’ influence on students’ college-going decisions. Journal of Counseling & Development, 100(1), 39–55. doi:10.1002/jcad.12408

Braxton, J. M., Doyle, W. R., & Lyken-Segosebe, D. (2015). Tweaking the Culture of the Community College. New Directions for Community Colleges, 2015(171), 77–85. doi:10.1002/cc.20156

Nolan, L. J., & Jenkins, S. M. (2012). Transitioning students out of college: The senior LC in psychology at Wagner College. New Directions for Teaching and Learning, 2012(132), 31–42. doi:10.1002/tl.20034