Konselor adalah seorang profesional yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam membantu individu mengatasi masalah pribadi, sosial, emosional, atau akademis mereka. Mereka berfokus pada memberikan dukungan psikologis, bimbingan, dan pendampingan untuk membantu klien mencapai potensi mereka yang optimal, mengidentifikasi solusi untuk masalah, dan mengembangkan keterampilan coping yang efektif. Konselor bekerja dengan berbagai pendekatan terapi dan teknik evaluasi untuk memahami dan merespons kebutuhan unik setiap individu, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional klien mereka secara menyeluruh.

Menurut Baruth dan Robinson, peran konselor adalah apa yang diharapkan dari posisi yang dijalani oleh seorang konselor dan bagaimana orang lain melihat posisi tersebut. Jadi, ketika seseorang menjadi konselor, orang lain akan memiliki harapan tertentu terhadap mereka. Sementara itu, peran konselor adalah peran yang melekat pada seseorang yang berfungsi sebagai konselor. Artinya, ketika seseorang menjadi konselor, mereka secara otomatis memiliki tanggung jawab untuk memenuhi peran tersebut.

Selain itu, Kartadinata menjelaskan bahwa bimbingan adalah proses membantu individu agar bisa membuat pilihan dan keputusan sendiri, serta bertanggung jawab atas keputusan tersebut, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungannya. Jadi, ketika seseorang mendapat bimbingan, mereka dibantu untuk bisa mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka buat. Sebagai contoh, bayangkan seseorang yang sedang bingung memilih jurusan kuliah. Dengan bantuan seorang konselor, individu tersebut dapat mengeksplorasi minat dan kemampuannya untuk akhirnya memilih jurusan yang sesuai. Dengan demikian, bimbingan membantu individu agar bisa membuat keputusan yang tepat untuk masa depan mereka. (Ulfah, U., & Arifudin, O. 2019).

Strategi konseling untuk peningkatan prestasi akademik melibatkan pendekatan holistik yang berpusat pada memahami setiap siswa secara individual, mengidentifikasi tantangan mereka dalam belajar, dan merancang solusi yang sesuai. Konselor akan bekerja sama dengan siswa untuk mengembangkan tujuan akademik yang realistis dan terukur, serta menyusun rencana tindakan yang konkret untuk mencapainya. Selain itu, konselor juga akan memberikan dukungan emosional dan motivasional kepada siswa, membantu mereka mengatasi kecemasan atau rasa tidak percaya diri yang mungkin menghambat pencapaian akademik mereka. Dalam proses ini, penting bagi konselor untuk berkolaborasi dengan orang tua dan guru untuk memastikan adanya dukungan yang konsisten di lingkungan belajar siswa. Melalui pendekatan ini, strategi konseling tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan hasil akademik, tetapi juga untuk membangun kepercayaan diri dan kemandirian siswa dalam mengelola pendidikan mereka sendiri. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ulfah, U., & Arifudin, O. (2019). Peran Konselor Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik. Jurnal Tahsinia, 1(1), 92-100.

PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA BESERTA PANDANGAN AHLI

24 July 2024 10:30:06 Dibaca : 29

Istilah cognitive berasal dari kata cogniton dalam terjemahan bahasa inggris yang berarti pengertian dan memiliki makna yang sejalan dengan kata knowing yang berarti mengetahui M. Uyun & Idi Warsah dalam (Simanjuntak & Siregar, 2022). Secara umum, kata kognitif dimaknai sebagai potensi intelektual yang dimulai dari tahap pengenalan informasi, kemudian ketahap pemahaman, dari pemahaman dapat mengembangkannya, menganalisis, hingga dapat menciptakan, dan terakhir mengevaluasinya. Hunt dalam (Simanjuntak & Siregar, 2022), berpangan bahwa kemampuan kognitif merupakan kecakapan seseorang dalam memproses informasi yang diperoleh melalui indra Molli & Nini dalam (Simanjuntak & Siregar, 2022). Dilihat dari sudut pandang psikologi, kognitif membahas tentang persepsi individu terhadap informasi, pemahaman, alur pikiran dan proses pemecahan masalah Maria Elena dalam (Simanjuntak & Siregar, 2022). Dalam artian bagaimana cara individu dapat memperoleh dan memproses sebuah informasi dengan menyimpan dan mengolahnya di otak untuk kemudian di wujudkan dalam sebuah perilaku atau tindakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kognitif adalah proses aktivitas berpikir yang melibatkan kemampuan individu dalam mengelola informasi yang didapatnya.

Vygotsky mengemukakan bahwa kemampuan kognitif untuk membantu memecahkan masalah, memudahkan dalam melakukan tindakan, memperluas kemampuan, dan melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya. Kognitif adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, jadi merupakan tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan. Artinya bahwa dengan memiliki kemampuan kognitif anak menggunakan alat berpikirnya untuk mengamati, menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa guna memecahkan masalah seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan. (Wardani et al., 2023)

Teori Vygotsky, atau lebih dikenal sebagai teori perkembangan sosial-kognitif, berfokus pada bagaimana interaksi sosial dan budaya mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang. Berikut adalah beberapa indikator utama dari teori Vygotsky:

  1. Pembelajaran Sosial (social learning) Vyotsky berpandangan, peserta didik dapat belajar dari interaksi yang dilakukannya dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten atau cakap. Interaksi sosial tersebut dapat memancing terbentuknya ide baru dan memperluas perkembangan intelektual peserta didik.
  2. Zona Perkembangan ZPD Konsep ZPD (zone of proximal development) biasa dikenal sebagai zona perkembangan yaitu orang terdekat peserta didik (guru, teman sebaya, dan orang tua) yang diharapkan dapat membantu peserta didik dalam memecahkan masalah. Maksudnya disini, peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan sendiri tugasnya akan dapat terselesaikan dengan bimbingan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sejawatnya.
  3.  Scaffolding (Perancahan) Scaffholding merupakan proses memberikan bantuan berupa petunjuk kepada peserta didik di awal tahap pembelajaran yang diharapkan peserta didik dapat belajar secara mandiri kedepannya.(Simanjuntak & Siregar, 2022)

Sedangkan menurut Brunner mengusung teori discovery learning yaitu dalam kegiatan belajar akan berjalan dengan maksimal dan kreatif jika peserta didik dapat menemukan sendiri suatu aturan atau memproses sendiri informasi yang diterimanya. Menurut Brunner perkembangan kognitif peserta didik sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan terkhusus bahasa yang digunakan dalam kehiduannya. Perkembangan bahasa disini memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan kognitif. Menurut Brunner, terdapat 3 tahapan perekembangan kognitif yang terjadi pada individu yaitu: 

  1. Tahap Enaktif Pada tahap enaktif, individu belajar untuk memahami lingkungan disekitarnya melalui kegiatan-kegiatan atau respon terhadap suatu objek. Dalam artian memahami dunia sekitarnya dengan menggunakan kemampuan motoriknya. Seperti melalui sentuhan, pegangan dan gigitan.
  2. Tahap Ikonik Pada tahap ikonik, individu memahami dunia sekitarnya menggunakan visualisasi melalui penggunaan model dan gambar gambar.
  3. Tahap Simbolik Pada tahap simbolik, individu mampu memiliki gagasan atau pemikiran abstrak, yaitu dengan memahami simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan lain sebagainya.

Sehingga dapat disimpulkan dari pemaparan teori Brunner bahwa, perkembangan kognitif peserta didik dapat didukung dengan menciptakan situasi agar peserta didik dapat belajar secara mandiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan struktur konsep, teori, atau pemahaman yang telah dipelajarinya. (Simanjuntak & Siregar, 2022)

  

DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak, K., & Siregar, R. S. (2022). Perkembangan Kognitif Peserta Didik dan Implementasi dalam Kegiatan Pembelajaran. Jurnal Riyadhah: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 111–124.

Wardani, I. R. W., Putri Zuani, M. I., & Kholis, N. (2023). Teori Belajar Perkembangan Kognitiv Lev Vygotsky dan Implikasinya dalam Pembelajaran. DIMAR: Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), 332–346. https://doi.org/10.58577/dimar.v4i2.92

 

 

 

 

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERCERAIAN DALAM KEHIDUPAN KELUARGA

24 July 2024 02:15:17 Dibaca : 75

Pengertian Perceraian

Perceraian adalah proses hukum atau sosial di mana pasangan yang sebelumnya hidup bersama sebagai suami dan istri secara sah mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Proses ini melibatkan serangkaian langkah formal yang dapat meliputi pengajuan gugatan perceraian, mediasi atau proses penyelesaian alternatif lainnya, dan akhirnya pemberian keputusan pengadilan yang mengakhiri ikatan pernikahan mereka secara resmi. Perceraian tidak hanya merupakan pemutusan hubungan pribadi antara dua individu, tetapi juga melibatkan implikasi hukum yang kompleks terkait dengan pembagian harta, dukungan anak, hak asuh, dan berbagai aspek kehidupan yang sebelumnya terkait dengan status perkawinan. Selain itu, perceraian juga sering kali mempengaruhi individu secara emosional, finansial, dan sosial, serta dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap keluarga yang terlibat, anak-anak, dan jaringan sosial di sekitarnya.

Pengertian Perceraian Menurut Ahli

Menurut Fuad Said, perceraian adalah ketika suami dan istri memutuskan untuk tidak lagi hidup bersama sebagai pasangan. Menurut Zahry Hamid, pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bisa berakhir karena beberapa alasan, misalnya karena suami atau istri meninggal dunia atau karena keduanya memutuskan untuk bercerai. Pernikahan yang berakhir ketika suami dan istri masih hidup bisa disebabkan oleh keinginan salah satu pasangan atau terjadi tanpa sepengetahuan keduanya. Jadi, intinya adalah perceraian adalah ketika suami dan istri memutuskan untuk tidak lagi hidup bersama sebagai pasangan, entah itu karena keinginan salah satu pasangan atau karena faktor lain seperti kematian. (Muhammad Syaifuddin, dkk. 2022)

Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

Perceraian adalah langkah terakhir yang diambil oleh pasangan suami-istri ketika mereka menghadapi masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam pernikahan mereka. Ini bukanlah tujuan utama saat menikah, tetapi lebih sebagai bencana yang menghancurkan hubungan suami-istri. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perceraian menurut para ahli adalah kekerasan verbal, masalah ekonomi, perjudian, penyalahgunaan minuman keras, dan perselingkuhan. Meskipun demikian, para ahli tidak memberikan detail yang jelas tentang faktor-faktor penyebab tersebut. Contoh sederhana dari faktor penyebab perceraian ini adalah ketika seorang suami sering menggunakan kata-kata kasar dan mengancam istri secara verbal, hal ini dapat menyebabkan ketegangan dalam hubungan mereka. Atau ketika salah satu pasangan terlibat dalam perjudian dan menghabiskan uang keluarga untuk hal tersebut, hal ini juga bisa menjadi pemicu perceraian. (Dariyo, A., & Esa, D. F. P. U. I. 2004). 

Dampak Yang Akan Dialami Anak Saat Terjadinya Perceraian

Perceraian orang tua adalah ketika kedua orang tua memutuskan untuk tidak tinggal bersama lagi. Hal ini bisa menjadi masalah besar bagi anak-anak, terutama yang masih bersekolah dasar. Anak-anak pada usia ini sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Kondisi rumah tangga bisa memengaruhi perkembangan dan pendidikan anak-anak yang masih bersekolah dasar. Jika suasana di rumah tidak baik, anak-anak mungkin tidak bisa belajar dengan baik. Bahkan, hal ini bisa berdampak negatif pada perkembangan emosional anak saat mereka sedang tumbuh dewasa. Pengalaman yang dialami oleh anak saat kecil akan memengaruhi kehidupan mereka di masa depan. Contoh sederhananya, jika anak sering melihat pertengkaran antara orang tuanya, maka anak tersebut mungkin akan merasa cemas atau sedih. Hal ini bisa berdampak pada konsentrasi belajarnya di sekolah. Sebaliknya, jika anak merasa dicintai dan diperhatikan oleh kedua orang tuanya, maka anak tersebut mungkin akan merasa lebih percaya diri dan bahagia. (M Yusuf, M. Y. 2014).

Yang Harus Dilakukan Orangtua Ketika Sudah Bercerai

Ketika orangtua sudah bercerai, ada beberapa hal penting yang perlu mereka lakukan:

  • Prioritaskan Kesejahteraan Anak. Pastikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama dalam segala keputusan yang diambil.
  • Komunikasi yang Efektif. Tetaplah berkomunikasi secara terbuka dan jujur tentang kebutuhan anak-anak. Hindari konflik yang berpotensi merugikan anak.
  • Tetap Terlibat. Meskipun bercerai, tetaplah terlibat dalam kehidupan anak-anak dengan cara yang positif dan mendukung.
  • Pemahaman terhadap Perasaan Anak. Bantu anak-anak memahami dan mengatasi perasaan mereka terkait perceraian orangtua.
  • Buatlah Kesepakatan Bersama. Buatlah kesepakatan terkait pengasuhan anak yang jelas dan adil bagi semua pihak.
  • Dukungan Emosional. Berikan dukungan emosional baik kepada anak-anak maupun satu sama lain sebagai orangtua.
  • Jaga Keseimbangan. Jaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan tanggung jawab sebagai orangtua yang bercerai.

Kesimpulan

Perceraian adalah proses hukum atau sosial di mana pasangan mengakhiri hubungan pernikahan mereka secara sah. Proses ini tidak hanya melibatkan aspek hukum seperti pembagian harta dan hak asuh, tetapi juga dapat memiliki dampak emosional, finansial, dan sosial yang signifikan bagi keluarga yang terlibat, terutama anak-anak.Anak-anak yang mengalami perceraian orang tua dapat mengalami dampak negatif, termasuk masalah emosional dan kesulitan dalam pendidikan mereka. Konflik rumah tangga yang terjadi sebelum perceraian bisa memengaruhi konsentrasi belajar anak dan perkembangan emosional mereka di masa depan.Orangtua yang bercerai memiliki tanggung jawab untuk memprioritaskan kesejahteraan anak, berkomunikasi dengan baik, terlibat secara positif dalam kehidupan anak, dan memberikan dukungan emosional yang diperlukan. Penting juga untuk membuat kesepakatan yang jelas terkait pengasuhan anak dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan tanggung jawab sebagai orangtua yang bercerai. Dalam situasi tertentu, bantuan profesional seperti konselor atau mediator dapat membantu mengelola konflik dan mempertahankan hubungan yang baik antara orangtua serta mendukung kesejahteraan anak-anak.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dariyo, A., & Esa, D. F. P. U. I. (2004). Memahami psikologi perceraian dalam kehidupan keluarga. Jurnal Psikologi, 2(2), 94-100.

M Yusuf, M. Y. (2014). Dampak perceraian orang tua terhadap anak. Jurnal Al-Bayan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah, 20(1).

Muhammad Syaifuddin S. H., Sri Turatmiyah, S. H., & Annalisa Yahanan, S. H. (2022). Hukum perceraian. Sinar Grafika.

 

MAKNA CINTA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF AHLI

22 July 2024 00:32:24 Dibaca : 33

Cinta adalah perasaan yang mendalam terhadap seseorang atau sesuatu yang membuat seseorang merasa bahagia, ingin melindungi, dan peduli secara tulus. Cinta bisa berupa kasih sayang, perhatian, keinginan untuk berbagi kehidupan bersama, dan adanya rasa empati yang mendalam. Cinta adalah sebuah pengalaman yang kompleks dan mendalam yang melibatkan perasaan kasih sayang, keintiman emosional, dan komitmen yang mendalam terhadap orang atau hal tertentu. Lebih dari sekadar perasaan, cinta mencakup pengertian yang dalam akan nilai-nilai, keutuhan, dan keinginan untuk berbagi kehidupan dengan orang yang dicintai. Ini melampaui aspek fisik semata dan mencakup dimensi spiritual, psikologis, dan sosial dalam hubungan manusia.

Adapun cinta menurut pandangan beberapa ahli, berikut pernyataannya:

  1. Erich Fromm (2005: 28) menyatakan bahwa cinta sebenarnya adalah suatu tindakan, bukan hanya suatu kekuatan yang pasif. Dalam pandangan Fromm, cinta seharusnya diwujudkan dengan bertahan dan berkomitmen, bukan hanya terjatuh secara tiba-tiba. Artinya, cinta sejati adalah tentang memberi, bukan hanya menerima. Sebagai contoh, ketika seseorang mencintai pasangannya, mereka akan melakukan tindakan nyata untuk menunjukkan cintanya, seperti memberikan perhatian, dukungan, dan pengorbanan demi kebahagiaan pasangan. Ini menunjukkan bahwa cinta sejati melibatkan tindakan dan komitmen yang aktif. Jadi, inti dari konsep cinta menurut Fromm adalah tentang bagaimana kita bertindak dan berkomitmen dalam hubungan, bukan hanya merasakan perasaan cinta tanpa tindakan nyata. (Apriantika, S. G., 2021).
  2. Kahil Gibran menjelaskan makna cinta menurut pandangannya. Menurutnya, cinta adalah memberikan diri kita sepenuhnya kepada orang lain tanpa mengharapkan apapun sebagai imbalannya. Cinta bukanlah tentang memiliki atau dimiliki, melainkan tentang memberikan tanpa pamrih. Cinta sudah cukup dengan menjadi cinta itu sendiri. Contoh sederhananya, ketika kita mencintai seseorang, kita tidak mengharapkan sesuatu sebagai imbalan atas cinta kita. Kita hanya ingin memberikan yang terbaik untuk orang yang kita cintai tanpa memikirkan keuntungan yang mungkin kita dapatkan. Jadi, cinta sejati adalah ketika kita rela memberikan segalanya tanpa pamrih. (Septiananta, B. N. E., 2023). 
  3. Freud memandang cinta sebagai energi psikologis yang mendasari perilaku manusia. Menurutnya, cinta bisa menjadi sumber kedamaian dan konflik dalam kehidupan. 

 

Kesimpulan dari pandangan beberapa ahli tentang cinta adalah bahwa cinta merupakan pengalaman yang kompleks dan mendalam yang melibatkan perasaan kasih sayang, keintiman emosional, dan komitmen yang mendalam terhadap seseorang atau sesuatu. Erich Fromm menekankan bahwa cinta sejati melibatkan tindakan nyata dan komitmen yang aktif, bukan sekadar perasaan pasif. Kahil Gibran mengajarkan bahwa cinta sejati adalah tentang memberikan sepenuhnya tanpa mengharapkan imbalan, menekankan bahwa cinta sudah cukup dengan menjadi dirinya sendiri. Sementara Freud melihat cinta sebagai energi psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku manusia, baik dalam membawa kedamaian maupun konflik dalam kehidupan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Apriantika, S. G. (2021). Konsep Cinta Menurut Erich Fromm; Upaya Menghindari Tindak Kekerasan dalam Pacaran. Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 10(1), 44-60.

Septiananta, B. N. E. (2023). Memaknai cinta dan kehilangan melalui puisi “cinta yang agung” karya kahil gibran dengan pendekatan struktural. Jurnal Insan Pendidikan dan Sosial Humaniora, 1(1), 183-194

BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PERSPEKTIF ISLAM

19 July 2024 19:30:41 Dibaca : 263

Bimbingan dan konseling dalam perspektif Islam sangatlah penting untuk memahami bagaimana agama ini memandang upaya membantu individu dalam mengatasi masalah dan meraih kebahagiaan hidupnya. Bimbingan dan konseling dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan masalah-masalah spiritual atau agama semata, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara holistik. Islam sebagai agama yang menyeluruh memberikan panduan tentang cara hidup yang baik dan bermanfaat bagi individu maupun masyarakat. Prinsip-prinsip Islam mengenai bimbingan dan konseling menggarisbawahi pentingnya keselarasan antara dimensi spiritual, emosional, mental, dan sosial dalam kehidupan manusia. Hal ini mencerminkan konsep bahwa setiap aspek kehidupan dapat diperbaiki dan disempurnakan dengan bantuan bimbingan yang sesuai dengan ajaran Islam. bimbingan dan konseling dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi masalah, tetapi juga sebagai sarana untuk mendukung individu dalam mencapai potensi maksimalnya sebagai hamba Allah. Pendekatan ini mencakup nasihat-nasihat yang diambil dari Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW, serta pengembangan kompetensi para konselor dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam konteks modern.

Dalam konteks bimbingan konseling Islam sebagai ilmu agama, yang secara integratif berakar pada bimbingan konseling sebagai ilmu modern, pandangan tentang jiwa sebagai objek material konseling berbeda. Dalam pendekatan modern, jiwa sering kali dianggap sebagai bagian dari sistem biologis atau sistem neurologis otak yang canggih, tanpa mempertimbangkan dimensi metafisiknya yang terkait dengan intelek samawi yang bersifat immaterial. Namun, dalam perspektif bimbingan konseling Islam sebagai ilmu agama, seperti yang dijelaskan oleh para filsuf Muslim seperti Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, dan Mulla Shadra, jiwa dilihat sebagai objek materi konseling yang memiliki substansi immateriil (metafisik). Pendekatan ini mencakup tidak hanya optimalisasi perkembangan pribadi-sosial, karir, atau akademik konseli, tetapi juga dimensi immateriil mereka yang lebih luas. Dalam landasan religius Bimbingan dan Konseling, penekanan pada 3 hal pokok adalah: (1) Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam adalah mahluk Tuhan, (2) Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia sesuai dengan kaidah-kaidah agama, dan (3) Upaya untuk memanfaatkan secara optimal suasana dan perangkat budaya serta kemasyarakatan yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama guna membentuk perkembangan dan pemecahan masalah individu. (Husni, M., & Muhammad, H. 2021).

Keberadaan bimbingan dan konseling Islami dalam proses perbaikan akhlak sangatlah signifikan. Dengan memberikan dorongan, motivasi, dan solusi terhadap permasalahan siswa, bimbingan konseling ini secara tidak langsung akan berkontribusi dalam perbaikan akhlak siswa. Bimbingan konseling Islami juga harus mengedepankan aspek keagamaan sebagai proses utama dalam memberikan pelayanan kepada siswa, yang menjadi bekal utama dalam menghadapi permasalahan, terutama dalam upaya memperbaiki akhlak siswa. Apabila aspek keagamaan dijalankan dengan baik, hal ini mampu meningkatkan moralitas yang sehat dan membimbing menuju hubungan manusia yang harmonis dengan Allah SWT. Pemahaman dan bimbingan mendalam mengenai nilai-nilai agama dan norma sosial oleh bimbingan dan konseling diharapkan dapat membantu siswa menerapkan perilaku terpuji dalam lingkungan mereka serta mengembangkan akhlak yang baik. Dalam bimbingan dan konseling Islami, selain menyampaikan pemahaman yang mendetail tentang nilai-nilai agama dan sosial, juga penting untuk melakukan monitoring perkembangan siswa terhadap masalah yang dihadapi. Kerjasama yang baik antara siswa, orang tua, dan konselor bimbingan sangat diperlukan dalam proses ini, sehingga bimbingan dan konseling Islami dapat memberikan kontribusi dan solusi terbaik terhadap permasalahan siswa, serta membantu membina kepribadian yang mulia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan. Peran Bimbingan dan Konseling Islam dalam pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian seumur hidup di sekolah atau madrasah. Ini melibatkan bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani sesuai ajaran Islam, dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi implementasi semua ajaran Islam. Bimbingan dan Konseling memahami individu dalam proses perkembangan menuju kematangan atau kemandirian. Proses ini memerlukan bimbingan karena mereka masih membutuhkan pemahaman tentang diri dan lingkungan, serta pengalaman dalam menentukan arah kehidupan mereka. Perlu diingat bahwa proses perkembangan ini tidak selalu berjalan mulus atau bebas dari masalah, dan tidak selalu sesuai dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut. (Khairuddin, K.  2022).

Dalam perspektif Al-qur’an dan Al-hadits, (Sutoyo, 2013), mendefiniskan bimbingan konseling dalam konteks Islam adalah proses pemberian bantuan terarah, kontinyu dan sistematis kepada setiap individu agar dapat mengembangkan potensi atau fitrah beragama yang dimilikinya secara optimal dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-qur’an dan Al-hadits ke dalam dirinya, sehingga  dapat hidup selaras dan sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan Al-hadits. Apabila internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Al-qur’an dan Al-hadits telah tercapai dan fitrah beragama itu telah berkembang secara optimal maka individu tersebut dapat menciptakan hubungan yang baik dengan Allah SWT, dengan manusia dan alam semesta sebagai manifestasi dari peranannya sebagai khalifah di muka bumi yang sekaligus juga berfungsi untuk mengabdi kepada Allah SWT (Hallen, 2005). Dapat dipahami bahwa tujuan Bimbingan dan Konseling Islam yaitu proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dalam konteks ini, aktivitas bimbingan konseling Islam disebut sebagai proses pemberian bantuan, dalam arti bahwa bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan, melainkan hanya membantu individu. Individu dibantu, dibimbing, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Hidup selaras dengan ketentuan Allah dalam arti: (1) hidup sesuai dengan kodrat yang ditentukan Allah, sesuai sunatullah, atau sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Allah. (2) hidup sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan Allah melalui Rasul-Nya. (3) menyadari eksistensi diri sebagai makhluk Allah yang diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. (Basri, A. S. H., Mlusyryfin, Z., Anwar, M. K., & Khairunh, H. 2019). 

Kesimpulan dari pernyataan tersebut adalah bahwa bimbingan dan konseling dalam perspektif Islam sangatlah penting karena mengintegrasikan pandangan agama terhadap upaya membantu individu dalam mengatasi masalah dan mencapai kebahagiaan hidupnya. Ini tidak hanya mencakup aspek spiritual atau agama semata, tetapi juga meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia secara holistik. Bimbingan dan konseling Islam dilihat sebagai sarana untuk mengoptimalkan perkembangan individu dalam semua aspek kehidupannya, baik itu spiritual, emosional, mental, maupun sosial. Pandangan ini mencerminkan bahwa Islam sebagai agama menyeluruh memberikan panduan untuk cara hidup yang baik dan bermanfaat, dengan prinsip-prinsip yang menekankan keselarasan antara berbagai dimensi kehidupan. Dalam konteks ilmu agama, bimbingan dan konseling Islam menawarkan perspektif unik terhadap jiwa sebagai objek konseling, mengakui dimensi metafisiknya yang terhubung dengan intelek samawi yang immaterial. Ini berbeda dengan pendekatan modern yang cenderung menganggap jiwa sebagai bagian dari sistem biologis atau neurologis belaka. Selain itu, peran bimbingan dan konseling Islam dalam pendidikan juga sangat penting, khususnya dalam pembinaan akhlak dan moralitas siswa. Melalui penerapan nilai-nilai agama dan norma sosial, bimbingan konseling dapat membantu siswa mengembangkan perilaku yang terpuji dan membangun kepribadian yang mulia. Secara keseluruhan, bimbingan dan konseling dalam perspektif Islam tidak hanya berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi masalah individu, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai potensi maksimal sebagai hamba Allah, dengan memanfaatkan nilai-nilai agama sebagai landasan utama dalam memberikan bantuan dan pelayanan kepada individu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Basri, A. S. H., Mlusyryfin, Z., Anwar, M. K., & Khairunh, H. (2019). Pengembangan Model Keilmuan Bimbingan dan Konseling Islam Melalui Jurnal Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam. PENGEMBANGAN MODEL KEILMUAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM MELALUI JURNAL HISBAH: JURNAL BIMBINGAN KONSELING DAN DAKWAH ISLAM, 2(2), 136-158.

Husni, M., & Muhammad, H. (2021). Landasan bimbingan dan konseling dalam Perspektif Islam. Al-Ibrah: Jurnal Pendidikan dan Keilmuan Islam, 6(1), 103-124.

Hallen A, 2005. Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Quantum Teaching.

Khairuddin, K. (2022). Peranan Bimbingan dan Konseling Islam dalam Lingkup Pendidikan. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 405-408.

Sutoyo, A. 2013, Bimbingan & Konseling Islami (Teori dan Praktik), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.