Tradisi Hari Raya Ketupat di Gorontalo: Upaya Pelestarian Nilai Budaya di Tengah Modernisasi
Hari Raya Ketupat merupakan salah satu tradisi yang masih dilestarikan oleh masyarakat Gorontalo. Perayaan ini biasanya dilaksanakan satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri, tepatnya pada 8 Syawal. Dalam bahasa Gorontalo, Hari Raya Ketupat dikenal juga dengan sebutan Lebaran Popalo Ketupat.
Tradisi ini bukan hanya sekedar makan ketupat bersama, tetapi menjadi simbol rasa syukur masyarakat setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal. Selain itu, Hari Raya Ketupat di Gorontalo juga menjadi momentum mempererat tali silaturahmi antar keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar. Namun, dalam realitas sosial saat ini, makna tradisi Hari Raya Ketupat di Gorontalo mulai bergeser. Sebagian masyarakat hanya memaknainya sebagai acara makan-makan semata, tanpa memahami nilai filosofis dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Pergeseran makna ini menjadi alasan penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Makna Tradisi Hari Raya Ketupat bagi Masyarakat Gorontalo
- Wujud rasa syukur kepada Allah SWT.
- Ajang mempererat tali silaturahmi.
- Momen berbagi rezeki kepada sesama.
Namun, ditemukan pula adanya pergeseran makna tradisi Hari Raya Ketupat, diantaranya:
- Generasi muda lebih memaknainya sebagai acara makan-makan.
- Mulai berkurangnya kegiatan religius seperti doa bersama.
- Pergeseran dari kegiatan sosial ke kegiatan konsumtif.
Upaya Pelestarian Tradisi
Masyarakat dan tokoh adat setempat di Gorontalo memiliki peran penting dalam menjaga dan melestarikan tradisi Hari Raya Ketupat. Berbagai upaya dilakukan agar tradisi ini tetap hidup dan tidak hilang ditelan zaman, terutama di tengah perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup generasi muda. Salah satu bentuk upaya pelestarian tradisi Hari Raya Ketupat yaitu dengan melibatkan generasi muda secara langsung dalam proses pembuatan ketupat. Generasi muda diajak untuk ikut serta mulai dari mempersiapkan bahan, menganyam janur, hingga memasak ketupat bersama keluarga dan masyarakat. Hal ini bertujuan agar mereka mengenal dan memahami proses tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, masyarakat juga rutin mengadakan kegiatan doa bersama saat perayaan Hari Raya Ketupat. Doa ini biasanya dipanjatkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas rezeki dan kesehatan yang diberikan, sekaligus mendoakan keluarga yang telah meninggal dunia. Tradisi doa bersama ini juga menjadi wadah mempererat tali silaturahmi antar warga. Tidak hanya itu, upaya edukasi tentang makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Hari Raya Ketupat juga terus dilakukan oleh orang tua maupun tokoh adat. Anak-anak diberikan pemahaman bahwa ketupat bukan sekadar makanan, tetapi memiliki filosofi mendalam tentang kebersihan hati, persatuan, dan kebersamaan. Melalui cara ini, diharapkan generasi muda mampu mencintai, memahami, dan meneruskan tradisi Hari Raya Ketupat sebagai bagian dari warisan budaya Gorontalo.
Bakso Sebagai Media Konseling
Konseling merupakan salah satu layanan penting dalam dunia pendidikan maupun kehidupan sosial untuk membantu individu dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Namun, sering kali konseling dipandang sebagai sesuatu yang kaku, formal, dan menegangkan oleh sebagian individu, khususnya remaja atau siswa. Hal ini menyebabkan sebagian orang enggan untuk mengikuti layanan konseling.
Fenomena menarik yang muncul di masyarakat adalah budaya makan bersama atau nongkrong sambil menikmati makanan tertentu, salah satunya bakso. Bakso menjadi salah satu makanan favorit berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Suasana santai saat makan bakso bersama dapat menciptakan kenyamanan dan kedekatan dalam komunikasi. Melihat fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi potensi bakso sebagai media konseling informal. Pendekatan ini diharapkan mampu menciptakan suasana konseling yang lebih santai, akrab, dan menyenangkan, sehingga klien lebih terbuka dalam mengungkapkan permasalahan mereka.
Bakso Sebagai Media Konseling
Bakso merupakan makanan populer di Indonesia yang banyak digemari oleh semua kalangan. Penggunaan bakso dalam konseling dapat menciptakan suasana santai, akrab, dan tidak kaku. Kegiatan makan bakso bersama dalam konseling bisa menjadi sarana untuk membangun kepercayaan dan kedekatan antara konselor dan klien.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa klien merasa lebih rileks, nyaman, dan tidak canggung ketika proses konseling dilakukan sambil makan bakso. Klien lebih terbuka dalam bercerita dan mengungkapkan masalah pribadinya.
Respon klien:
“Jadi nggak terasa kalau lagi konseling, malah kayak lagi curhat sama teman.”
Manfaat Penggunaan Bakso Sebagai Media Konseling
- Mencairkan suasana canggung.
- Membantu membangun keakraban antara konselor dan klien.
- Meningkatkan keterbukaan klien dalam mengungkapkan masalah.
- Mengurangi kesan formal dan kaku pada layanan konseling.
Penggunaan bakso sebagai media konseling terbukti efektif dalam menciptakan suasana santai dan nyaman. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa media konseling dapat membantu meningkatkan keberhasilan proses konseling, terutama pada klien yang sulit untuk terbuka dalam suasana formal.
Dialektika Cinta dan Pendidikan
Pendidikan tanpa cinta menggambarkan kondisi di mana proses pendidikan berlangsung tanpa adanya perhatian, kepedulian, atau relasi emosional yang sehat antara pendidik dan peserta didik. Dalam konteks ini, cinta bukan sekadar perasaan personal, tetapi menjadi bagian penting dalam pembentukan relasi edukatif yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu secara utuh (Aldridge, 2019).
Aldridge (2019) menjelaskan bahwa pendidikan idealnya berada dalam love triangle atau segitiga cinta, yaitu melibatkan hubungan antara guru, siswa, dan pengetahuan yang didasari cinta sebagai kekuatan penghubungnya. Pendidikan tanpa cinta mengabaikan elemen ini, sehingga cenderung bersifat kaku, transaksional, dan mengabaikan aspek kemanusiaan peserta didik. Bahkan, dalam konteks tertentu, pendidikan tanpa cinta dapat memperlemah solidaritas sosial dan mengurangi semangat keterlibatan individu dalam proses belajar (Fantuzzo, 2018).
Penelitian Hu & Wu (2019) juga menunjukkan bahwa pendidikan orang tua memiliki pengaruh terhadap cara pandang anak dalam memaknai cinta, termasuk dalam konteks pendidikan. Ketika pendidikan keluarga dan sekolah sama-sama miskin akan nilai cinta, maka dapat terbentuk generasi yang memiliki persepsi negatif terhadap hubungan sosial, termasuk dalam kehidupan akademik.
Dalam kajian literatur klasik, Gerlier (2019) menegaskan bahwa bahasa, pengetahuan, dan cinta saling berkaitan erat dalam proses pendidikan. Tanpa cinta, bahasa pendidikan kehilangan kehangatan, dan pengetahuan menjadi sekadar hafalan tanpa makna mendalam. Hal ini sejalan dengan Heath (2011) yang menekankan bahwa pendidikan yang adil secara sosial membutuhkan fondasi cinta, sebab cinta memampukan individu untuk saling memahami dalam perbedaan.
Laughey et al. (2021) bahkan memperkenalkan metode love and breakup letter dalam pendidikan kedokteran untuk mengungkapkan pengalaman emosional siswa. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan emosional, termasuk cinta dan kecewa, merupakan bagian integral dari proses belajar. Ketidakhadiran cinta dalam pendidikan akan menciptakan jarak emosional antara guru dan siswa, sehingga menurunkan efektivitas pembelajaran.
Selain itu, cinta dalam pendidikan juga berkaitan dengan pembentukan identitas sosial dan nasionalisme. Schumann (2016) mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya mampu menyeimbangkan antara cinta tanah air (patriotisme) dan keterbukaan terhadap nilai-nilai global (kosmopolitanisme). Pendidikan tanpa cinta akan cenderung mengarah pada eksklusivitas dan resistensi terhadap keberagaman.
Standley (2022) menambahkan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membongkar mitos-mitos cinta yang keliru, termasuk dalam konteks hubungan romantis siswa. Ini menunjukkan bahwa cinta dalam pendidikan tidak hanya berkaitan dengan kasih sayang antarpersonal, tetapi juga mencakup pembentukan pola pikir kritis terhadap relasi sosial.
Dalam konteks pendidikan sains dan STEM, Basile & Azevedo (2022) mengkritik bahwa upaya keadilan sosial dalam pendidikan sering kali kehilangan elemen cinta sebagai refleksi diri dalam praktik pendidikan. Tanpa cinta, pendidikan cenderung hanya berfokus pada pencapaian formal tanpa memperhatikan kesejahteraan emosional siswa.
Ho et al. (2024) menegaskan bahwa nilai cinta, keadilan, dan kepedulian lingkungan harus menjadi bagian dari pendidikan, termasuk dalam pendidikan berbasis agama. Pendidikan tanpa cinta bukan hanya kehilangan esensi moral, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam diri peserta didik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan tanpa cinta merupakan kondisi yang mereduksi peran pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Pendidikan yang mengabaikan cinta tidak hanya berdampak pada relasi guru-siswa yang kaku, tetapi juga berpotensi melemahkan solidaritas sosial, mempersempit pemaknaan belajar, serta menciptakan ketimpangan dalam pengembangan karakter peserta didik.
Daftar Pustaka
Aldridge, D. (2019). Education’s Love Triangle. Journal of Philosophy of Education, 53(3), 531–546. doi:10.1111/1467-9752.12373
Hu, A., & Wu, X. (2019). Parental Education and College Students’ Attitudes Toward Love: Survey Evidence From China. Journal of Marriage and Family, 81(3), 584–600. doi:10.1111/jomf.12561
Gerlier, V. (2019). ‘How Well He’s Read, To Reason Against Reading’: Language, Eros and Education in Shakespeare’s Love’s Labour’s Lost. Journal of Philosophy of Education, 53(3), 589–604. doi:10.1111/1467-9752.12381
Fantuzzo, J. P. (2018). Facing the Civic Love Gap: James Baldwin’s Civic Education for Interpersonal Solidarity. Educational Theory, 68(4–5), 385–402. doi:10.1111/edth.12323
Heath, S. B. (2011). New Love, Long Love: Keeping Social Justice and Ethnography of Education in Mind. Anthropology & Education Quarterly, 42(4), 397–403. doi:10.1111/j.1548-1492.2011.01147.x
Laughey, W. F., Brown, M. E. L., Liu, A., Dueñas, A. N., & Finn, G. M. (2021). Love and breakup letter methodology: A new research technique for medical education. Medical Education, 55(7), 818–824. doi:10.1111/medu.14463
Schumann, C. (2016). Which Love of Country? Tensions, Questions and Contexts for Patriotism and Cosmopolitanism in Education. Journal of Philosophy of Education, 50(2), 261–271. doi:10.1111/1467-9752.12205
Standley, J. (2022). Lessons in love: Countering student belief in romantic love myths. Journal of Philosophy of Education, 56(5), 739–751. doi:10.1111/1467-9752.12687
Basile, V., & Azevedo, F. S. (2022). Ideology in the mirror: A loving (self) critique of our equity and social justice efforts in STEM education. Science Education, 106(5), 1084–1096. doi:10.1002/sce.21731
Ho, M. Y., Hui, T. Y., & Chan, J. K. Y. (2024). Environmentalism and Christian Values in Hong Kong: The Potential Influences of Stewardship, Justice, Love, and Church Environmental Education. Journal for the Scientific Study of Religion, 63(4), 867–887. doi:10.1111/jssr.12930
Pendidikan Tanpa Cinta
Pendidikan tanpa cinta menggambarkan kondisi di mana proses pendidikan berlangsung tanpa adanya perhatian, kepedulian, atau relasi emosional yang sehat antara pendidik dan peserta didik. Dalam konteks ini, cinta bukan sekadar perasaan personal, tetapi menjadi bagian penting dalam pembentukan relasi edukatif yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu secara utuh (Aldridge, 2019).
Aldridge (2019) menjelaskan bahwa pendidikan idealnya berada dalam love triangle atau segitiga cinta, yaitu melibatkan hubungan antara guru, siswa, dan pengetahuan yang didasari cinta sebagai kekuatan penghubungnya. Pendidikan tanpa cinta mengabaikan elemen ini, sehingga cenderung bersifat kaku, transaksional, dan mengabaikan aspek kemanusiaan peserta didik. Bahkan, dalam konteks tertentu, pendidikan tanpa cinta dapat memperlemah solidaritas sosial dan mengurangi semangat keterlibatan individu dalam proses belajar (Fantuzzo, 2018).
Penelitian Hu & Wu (2019) juga menunjukkan bahwa pendidikan orang tua memiliki pengaruh terhadap cara pandang anak dalam memaknai cinta, termasuk dalam konteks pendidikan. Ketika pendidikan keluarga dan sekolah sama-sama miskin akan nilai cinta, maka dapat terbentuk generasi yang memiliki persepsi negatif terhadap hubungan sosial, termasuk dalam kehidupan akademik.
Dalam kajian literatur klasik, Gerlier (2019) menegaskan bahwa bahasa, pengetahuan, dan cinta saling berkaitan erat dalam proses pendidikan. Tanpa cinta, bahasa pendidikan kehilangan kehangatan, dan pengetahuan menjadi sekadar hafalan tanpa makna mendalam. Hal ini sejalan dengan Heath (2011) yang menekankan bahwa pendidikan yang adil secara sosial membutuhkan fondasi cinta, sebab cinta memampukan individu untuk saling memahami dalam perbedaan.
Laughey et al. (2021) bahkan memperkenalkan metode love and breakup letter dalam pendidikan kedokteran untuk mengungkapkan pengalaman emosional siswa. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan emosional, termasuk cinta dan kecewa, merupakan bagian integral dari proses belajar. Ketidakhadiran cinta dalam pendidikan akan menciptakan jarak emosional antara guru dan siswa, sehingga menurunkan efektivitas pembelajaran.
Selain itu, cinta dalam pendidikan juga berkaitan dengan pembentukan identitas sosial dan nasionalisme. Schumann (2016) mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya mampu menyeimbangkan antara cinta tanah air (patriotisme) dan keterbukaan terhadap nilai-nilai global (kosmopolitanisme). Pendidikan tanpa cinta akan cenderung mengarah pada eksklusivitas dan resistensi terhadap keberagaman.
Standley (2022) menambahkan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membongkar mitos-mitos cinta yang keliru, termasuk dalam konteks hubungan romantis siswa. Ini menunjukkan bahwa cinta dalam pendidikan tidak hanya berkaitan dengan kasih sayang antarpersonal, tetapi juga mencakup pembentukan pola pikir kritis terhadap relasi sosial.
Dalam konteks pendidikan sains dan STEM, Basile & Azevedo (2022) mengkritik bahwa upaya keadilan sosial dalam pendidikan sering kali kehilangan elemen cinta sebagai refleksi diri dalam praktik pendidikan. Tanpa cinta, pendidikan cenderung hanya berfokus pada pencapaian formal tanpa memperhatikan kesejahteraan emosional siswa.
Ho et al. (2024) menegaskan bahwa nilai cinta, keadilan, dan kepedulian lingkungan harus menjadi bagian dari pendidikan, termasuk dalam pendidikan berbasis agama. Pendidikan tanpa cinta bukan hanya kehilangan esensi moral, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam diri peserta didik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan tanpa cinta merupakan kondisi yang mereduksi peran pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Pendidikan yang mengabaikan cinta tidak hanya berdampak pada relasi guru-siswa yang kaku, tetapi juga berpotensi melemahkan solidaritas sosial, mempersempit pemaknaan belajar, serta menciptakan ketimpangan dalam pengembangan karakter peserta didik.
Daftar Pustaka
Aldridge, D. (2019). Education’s Love Triangle. Journal of Philosophy of Education, 53(3), 531–546. doi:10.1111/1467-9752.12373
Hu, A., & Wu, X. (2019). Parental Education and College Students’ Attitudes Toward Love: Survey Evidence From China. Journal of Marriage and Family, 81(3), 584–600. doi:10.1111/jomf.12561
Gerlier, V. (2019). ‘How Well He’s Read, To Reason Against Reading’: Language, Eros and Education in Shakespeare’s Love’s Labour’s Lost. Journal of Philosophy of Education, 53(3), 589–604. doi:10.1111/1467-9752.12381
Fantuzzo, J. P. (2018). Facing the Civic Love Gap: James Baldwin’s Civic Education for Interpersonal Solidarity. Educational Theory, 68(4–5), 385–402. doi:10.1111/edth.12323
Heath, S. B. (2011). New Love, Long Love: Keeping Social Justice and Ethnography of Education in Mind. Anthropology & Education Quarterly, 42(4), 397–403. doi:10.1111/j.1548-1492.2011.01147.x
Laughey, W. F., Brown, M. E. L., Liu, A., Dueñas, A. N., & Finn, G. M. (2021). Love and breakup letter methodology: A new research technique for medical education. Medical Education, 55(7), 818–824. doi:10.1111/medu.14463
Schumann, C. (2016). Which Love of Country? Tensions, Questions and Contexts for Patriotism and Cosmopolitanism in Education. Journal of Philosophy of Education, 50(2), 261–271. doi:10.1111/1467-9752.12205
Standley, J. (2022). Lessons in love: Countering student belief in romantic love myths. Journal of Philosophy of Education, 56(5), 739–751. doi:10.1111/1467-9752.12687
Basile, V., & Azevedo, F. S. (2022). Ideology in the mirror: A loving (self) critique of our equity and social justice efforts in STEM education. Science Education, 106(5), 1084–1096. doi:10.1002/sce.21731
Ho, M. Y., Hui, T. Y., & Chan, J. K. Y. (2024). Environmentalism and Christian Values in Hong Kong: The Potential Influences of Stewardship, Justice, Love, and Church Environmental Education. Journal for the Scientific Study of Religion, 63(4), 867–887. doi:10.1111/jssr.12930
Datang Kalau Butuh, Pergi Kalau Puas
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menemukan seseorang yang hadir dalam kehidupan orang lain hanya ketika sedang merasa bosan atau tidak memiliki kesibukan, atau sering disebut dengan istilah "datang saat gabut". Fenomena ini sering terjadi dalam berbagai bentuk hubungan sosial, seperti pertemanan, hubungan percintaan, bahkan hubungan dalam keluarga. Kehadiran seseorang hanya karena sedang gabut sering kali menimbulkan perasaan dimanfaatkan bagi pihak yang menjadi “tempat singgah”. Hal ini dapat berdampak pada kondisi emosional, rasa percaya diri, dan kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui lebih dalam mengenai perilaku "datang saat gabut" dan dampaknya dalam hubungan sosial.
Perilaku "datang saat gabut" adalah sebuah tindakan seseorang yang hanya mendekati, menghubungi, atau menjalin komunikasi dengan orang lain ketika sedang bosan, tidak memiliki aktivitas, atau merasa sepi. Perilaku ini cenderung tidak berorientasi pada ketulusan, melainkan sekedar pelampiasan waktu luang.
Dampak Perilaku "Datang Saat Gabut"
- Dampak Positif
- Mengisi waktu luang
- Menambah pengalaman sosial
2. Dampak Negatif
- Timbulnya rasa dimanfaatkan
- Merusak kepercayaan antar individu
- Menurunkan kualitas hubungan sosial
- Menumbuhkan luka batin atau trust issue
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena "datang saat gabut" termasuk dalam perilaku sosial yang tidak sehat dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini sejalan dengan teori hubungan sosial yang menyatakan bahwa hubungan yang baik dibangun atas dasar ketulusan, kehadiran, dan komitmen, bukan karena rasa bosan atau gabut semata. Perilaku "datang saat gabut" dapat merusak kualitas hubungan sosial, karena menimbulkan rasa tidak dihargai pada individu yang diperlakukan seperti itu. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menimbulkan permasalahan psikologis bagi korban, seperti trust issue, rendah diri, hingga menarik diri dari lingkungan sosial.