ORGANISASI SESAT

06 February 2025 20:16:02 Dibaca : 38

Organisasi merupakan entitas sosial yang memiliki struktur dan tujuan tertentu. Namun, dalam beberapa kasus, terdapat organisasi yang menyimpang dari norma sosial dan etika yang berlaku, yang kemudian disebut sebagai "organisasi sesat." Fenomena ini dapat ditemukan di berbagai sektor, termasuk keagamaan, bisnis, dan sosial.

Organisasi sesat memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari organisasi konvensional. Menurut Ermann dan Lundman (1978), organisasi yang menyimpang sering kali menunjukkan perilaku devian secara kolektif, yang didukung oleh struktur hierarkis yang kuat serta kontrol sosial yang ketat. Selain itu, individu dalam organisasi tersebut dapat mengalami dehumanisasi, di mana nilai-nilai moral dan etika dikaburkan demi kepentingan organisasi (Sarwar et al., 2021). Menurut Lauritzen (2020), organisasi sesat dapat muncul ketika ada fleksibilitas struktural yang berlebihan dan kurangnya pengawasan terhadap praktik-praktik internal. Hal ini sering ditemukan dalam organisasi yang mengandalkan kerja sukarela, di mana norma formal sering kali diabaikan. Studi ini menunjukkan bahwa penyimpangan dapat terjadi bahkan di organisasi yang tidak memiliki niat jahat, tetapi berkembang karena sistem kontrol yang lemah.

Faktor yang menyebabkan suatu organisasi menjadi sesat dapat berasal dari internal maupun eksternal. Mostafa et al. (2023) menyatakan bahwa ketidaksesuaian antara individu dan organisasi (person-organization fit) dapat menyebabkan perilaku menyimpang, terutama ketika individu merasa tidak terikat secara moral dengan nilai-nilai organisasi. Selain itu, ketika praktik manajemen sumber daya manusia tidak berorientasi pada kesejahteraan anggota, maka perilaku menyimpang dapat meningkat. Nair dan Bhatnagar (2011) juga menyoroti bahwa perilaku menyimpang dalam organisasi nirlaba dapat terjadi akibat tekanan eksternal seperti tuntutan donor dan ketidakseimbangan antara harapan dan sumber daya yang tersedia. Dengan demikian, organisasi yang memiliki misi sosial pun tidak luput dari kemungkinan menjadi organisasi sesat jika praktik manajemennya tidak selaras dengan etika yang berlaku.

Organisasi sesat memiliki dampak negatif baik bagi anggota organisasi maupun masyarakat luas. Salah satu dampaknya adalah peningkatan perilaku menyimpang di tempat kerja, yang dapat mengarah pada tindakan kriminal, eksploitasi, dan manipulasi (Mostafa et al., 2023). Selain itu, dalam lingkungan keagamaan atau spiritual, organisasi sesat dapat menciptakan tekanan sosial yang signifikan terhadap anggotanya, menyebabkan mereka kehilangan kebebasan berpikir dan bertindak.

Dalam konteks organisasi publik, Lauritzen (2020) menekankan bahwa ketika organisasi tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat, praktik penyimpangan dapat meluas dan sulit untuk dikendalikan. Ini dapat berujung pada krisis kepercayaan publik terhadap institusi yang bersangkutan.

Untuk mencegah terbentuknya organisasi sesat, diperlukan pendekatan multidisiplin yang mencakup regulasi ketat, pengawasan transparan, serta edukasi bagi masyarakat. Menurut Ermann dan Lundman (1978), penguatan mekanisme kontrol internal dan eksternal dapat membantu mencegah perilaku menyimpang di tingkat organisasi. Selain itu, Sarwar et al. (2021) menekankan pentingnya kebijakan organisasi yang berorientasi pada kesejahteraan anggota untuk mengurangi risiko dehumanisasi dan perilaku menyimpang. Dengan adanya sistem manajemen yang jelas dan kebijakan berbasis etika, organisasi dapat berkembang secara sehat dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

KESIMPULAN

Organisasi sesat adalah fenomena yang dapat terjadi di berbagai sektor dan memiliki dampak luas terhadap individu dan masyarakat. Penyebabnya dapat bervariasi, mulai dari ketidaksesuaian nilai antara individu dan organisasi hingga lemahnya sistem pengawasan. Oleh karena itu, pemahaman akademik tentang organisasi sesat penting untuk mengembangkan strategi pencegahan dan penanganan yang efektif. Dengan menerapkan regulasi yang ketat dan kebijakan berbasis etika, keberadaan organisasi sesat dapat diminimalisir demi menciptakan lingkungan organisasi yang sehat dan bertanggung jawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ermann, M. D., & Lundman, R. J. (1978). Deviant Acts by Complex Organizations: Deviance and Social Control at the Organizational Level of Analysis. The Sociological Quarterly, 19(1), 55–67. doi:10.1111/j.1533-8525.1978.tb02171.x

Lauritzen, G. D. (2020). Looking beyond formal organization: How public managers organize voluntary work by adapting to deviance. Systems Research and Behavioral Science, 37(3), 467–481. doi:10.1002/sres.2686

Mostafa, A. M. S., Boon, C., Abouarghoub, W., & Cai, Z. (2023). High-commitment HRM, organizational engagement, and deviant workplace behaviors: The moderating role of person-organization fit. European Management Review, 20(3), 410–424. doi:10.1111/emre.12542

Nair, N., & Bhatnagar, D. (2011). Understanding workplace deviant behavior in nonprofit organizations. Nonprofit Management and Leadership, 21(3), 289–309. doi:10.1002/nml.20026

Sarwar, A., Khan, J., Muhammad, L., Mubarak, N., & Jaafar, M. (2021). Relationship between organisational dehumanization and nurses’ deviant behaviours: A moderated mediation model. Journal of Nursing Management, 29(5), 1036–1045. doi:10.1111/jonm.13241

STRATEGI KONSELING UNTUK MELEPASKAN MASA LALU

29 January 2025 00:53:00 Dibaca : 18

Dalam proses konseling untuk membantu individu melupakan pengalaman traumatis, seperti hubungan yang berakhir buruk atau perselingkuhan, pendekatan berbasis bukti sangat penting. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemulihan dari pengalaman emosional mendalam memerlukan kombinasi teknik terapi yang berpusat pada klien dan pendekatan yang didukung secara empiris (Mauldin & Hildreth, 1997).

Mauldin dan Hildreth (1997) mengusulkan model konseling pasangan yang mengalami perselingkuhan. Dalam konteks ini, elemen utama adalah membantu individu menghadapi emosi seperti rasa bersalah, marah, atau kecewa. Teknik seperti terapi naratif dapat digunakan untuk merekonstruksi makna dari peristiwa yang dialami sehingga klien mampu menciptakan narasi baru yang lebih memberdayakan. Selain itu, intervensi yang menekankan pada pengampunan ditemukan efektif dalam membantu klien melepaskan emosi negatif yang berkaitan dengan pengalaman traumatis (Moorhead, Gill, Minton, & Myers, 2012).

Dalam konteks multikultural, pendekatan konseling harus mempertimbangkan dimensi budaya dan identitas klien. Gipson (2017) menekankan bahwa seni terapi dapat menjadi alat yang kuat dalam membantu klien menghadapi trauma. Seni sebagai media terapi tidak hanya memberikan ekspresi bagi emosi yang sulit diungkapkan, tetapi juga memungkinkan klien untuk merefleksikan identitas mereka dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Hal ini relevan ketika menangani klien yang menghadapi tekanan dari norma sosial atau nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan pengalaman mereka.

Richard Zamora, Winterowd, dan Roring (2013) menemukan bahwa gaya cinta dan keterikatan emosional memainkan peran penting dalam cara individu memproses hubungan yang berakhir. Klien dengan gaya keterikatan yang aman cenderung lebih mudah untuk pulih dibandingkan mereka dengan gaya keterikatan yang cemas atau menghindar. Oleh karena itu, konselor dapat memanfaatkan wawasan ini untuk menyesuaikan pendekatan mereka, misalnya dengan menggunakan terapi perilaku kognitif (CBT) untuk menantang pola pikir disfungsi terkait hubungan masa lalu.

Kesimpulan:

Konseling untuk membantu klien melupakan pengalaman traumatis memerlukan pendekatan yang holistik, adaptif, dan berbasis bukti. Dengan mengintegrasikan teori keterikatan, pendekatan multikultural, serta intervensi berbasis seni dan pengampunan, konselor dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan klien. Pendekatan ini tidak hanya membantu klien untuk melepaskan masa lalu, tetapi juga untuk membangun kembali kehidupan mereka dengan keyakinan dan harapan baru

DAFTAR PUSTAKA

Gipson, L. (2017). Challenging Neoliberalism and Multicultural Love in Art Therapy. Art Therapy, 34(3), 112–117. doi:10.1080/07421656.2017.1353326

Jones, F., Hamilton, J., & Kargas, N. (2025). Accessibility and affirmation in counselling: An exploration into neurodivergent clients’ experiences. Counselling and Psychotherapy Research, 25(1), e12742. doi:10.1002/capr.12742

Mauldin, G. R., & Hildreth, G. J. (1997). A Model for Counseling Couples Who Have Had an Extramarital Affair. TCA Journal, 25(2), 58–67. doi:10.1080/15564223.1997.12034504

Moorhead, H. J. H., Gill, C., Minton, C. A. B., & Myers, J. E. (2012). Forgive and Forget? Forgiveness, Personality, and Wellness Among Counselors-in-Training. Counseling and Values, 57(1), 81–95. doi:10.1002/j.2161-007X.2012.00010.x

Richard Zamora, J. K., Carrie Winterowd, & Roring, S. (2013). The Relationship Between Love Styles and Romantic Attachment Styles in Gay Men. Journal of LGBT Issues in Counseling, 7(3), 200–217. doi:10.1080/15538605.2013.812927

Lagu "Pelangi" yang dibawakan oleh HIVI! menggambarkan kompleksitas cinta, harapan, dan kekecewaan melalui metafora yang mendalam dan nada yang melankolis. Lagu ini menyentuh tema universal tentang hubungan manusia, mengundang pendengar untuk merenungkan makna cinta sejati. Dengan menggunakan referensi dari literatur tentang musik dan spiritualitas, analisis ini mengeksplorasi pesan mendalam yang terkandung dalam lagu tersebut.

Tema utama lagu ini adalah pencarian cinta yang abadi, yang tercermin dalam lirik pembuka, "Ku ingin cinta hadir untuk selamanya, bukan hanyalah untuk sementara." Pernyataan ini menekankan keinginan mendalam untuk menemukan cinta yang konsisten dan tidak hanya sebatas hubungan sementara. Hal ini mencerminkan kebutuhan manusia untuk menjalin hubungan yang stabil dan bermakna. Rakusen (2004) menjelaskan bahwa lagu dapat menjadi sarana untuk menghubungkan individu dengan kebenaran emosional individu, dan lirik ini menggambarkan kebutuhan universal akan cinta yang tidak berubah.

Metafora pelangi yang digunakan dalam lirik "Menyapa dan hilang, terbit tenggelam bagai pelangi" memperkuat gambaran cinta sebagai fenomena yang indah tetapi sementara. Metafora ini menyampaikan keindahan hubungan singkat yang tetap bermakna meski tidak berlangsung lama. Rakusen (2004) menyatakan bahwa metafora dalam musik membantu individu memahami pengalaman emosional yang kompleks. Dalam konteks ini, pelangi mencerminkan hubungan yang penuh warna dan kebahagiaan, namun sifatnya tidak bertahan lama, mengajarkan pendengar tentang kerapuhan kebahagiaan yang tidak didukung oleh komitmen. Lirik "Jangan anggap hatiku jadi tempat persinggahanmu untuk cinta sesaat" mengandung kritik terhadap hubungan yang tidak setara, di mana salah satu pihak merasa dimanfaatkan. Lagu ini menggambarkan rasa tidak adil yang dirasakan oleh seseorang yang menjadi korban dari cinta yang bersifat sementara. Mitchell (2002) menyebutkan bahwa musik dapat menyatukan pengalaman emosional individu dengan pengalaman kolektif, sehingga memungkinkan pendengar merasakan empati terhadap cerita dalam lagu. Kritik ini mencerminkan pengalaman umum banyak individu yang merasa terluka akibat hubungan tanpa komitmen.

Resolusi emosional dalam lagu ini terlihat melalui lirik "Biarkanlah hatiku mencari cinta sejati," yang menunjukkan keinginan penyair untuk melepaskan hubungan yang tidak membawa kebahagiaan. Meskipun ada rasa kecewa, lirik ini menggambarkan keberanian untuk mencari cinta yang lebih tulus dan bermakna. Rakusen (2004) mencatat bahwa lagu sering kali menyediakan ruang untuk refleksi dan penyembuhan emosional, memungkinkan pendengar untuk mengidentifikasi diri mereka dengan perjalanan emosional penyair. Hal ini menjadikan lagu sebagai alat yang mendukung proses pemulihan dari luka emosional. Bagian lain yang menarik adalah penggunaan simbolisme laut dan pelabuhan dalam lirik "Kau bagai kapal yang terus melaju di luasnya ombak samudera biru, namun sayangnya kau tak pilih aku jadi pelabuhanmu." Simbolisme ini menggambarkan cinta yang terus bergerak tanpa arah pasti, di mana laut melambangkan kebebasan dan ketidakpastian, sementara pelabuhan mencerminkan keinginan untuk stabilitas dan kedamaian. Mitchell (2002) menjelaskan bahwa simbol dalam lagu sering kali membantu menciptakan gambaran emosional yang kuat bagi pendengar, sehingga pengalaman mendengarkan lagu menjadi lebih bermakna.

Secara keseluruhan, lagu "Pelangi" menggambarkan dinamika emosi manusia yang kompleks. Rakusen (2004) berpendapat bahwa lagu dapat menjadi medium untuk penyembuhan emosional dan spiritual, memberikan ruang bagi individu untuk mengolah pengalaman mereka sendiri. Dalam hal ini, lagu "Pelangi" tidak hanya menyampaikan cerita cinta, tetapi juga membantu pendengar merenungkan pengalaman mereka sendiri tentang cinta, harapan, dan kehilangan. Dengan metafora yang indah dan lirik yang emosional, lagu ini menjadi karya seni musikal yang mampu menghubungkan pendengar dengan pengalaman emosional mereka secara spiritual dan personal.

DAFTAR PUSTAKA

Mitchell, S. (2002). Together in Song. The Ecumenical Review, 54(3), 353–368. doi:10.1111/j.1758-6623.2002.tb00159.

Rakusen, J. (2004). Using song as a means of connecting with truth: an experiential approach involving the whole person. Spirituality and Health International, 5(4), 228–237. doi:10.1002/shi.276.

APA ITU KECANDUAN? DAN CARA MENGURANGINYA?

25 January 2025 23:35:02 Dibaca : 18

Kecanduan merupakan kondisi psikologis dan fisiologis yang ditandai dengan ketergantungan berlebihan terhadap suatu aktivitas atau substansi tertentu yang dapat mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari individu. Menurut Johansson dan Gøtestam (2004), kecanduan internet dapat didefinisikan sebagai penggunaan internet yang kompulsif dan tidak terkendali yang berdampak pada aspek sosial, akademik, dan pekerjaan individu. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap remaja Norwegia, ditemukan bahwa kecanduan internet memiliki keterkaitan dengan rendahnya keterampilan sosial serta kecenderungan terhadap isolasi sosial.

Kecanduan tidak hanya terbatas pada penggunaan substansi seperti narkotika atau alkohol, tetapi juga mencakup berbagai perilaku lain seperti kecanduan internet, judi, dan belanja. Bakken et al. (2009) menemukan bahwa kecanduan internet di kalangan orang dewasa di Norwegia berkaitan dengan faktor-faktor seperti kesepian, depresi, dan tingkat stres yang tinggi. Faktor-faktor yang menyebabkan kecanduan dapat bersumber dari berbagai aspek, seperti aspek biologis yang melibatkan perubahan pada sistem neurotransmitter di otak yang meningkatkan rasa puas atau senang ketika melakukan aktivitas adiktif. Selain itu, faktor psikologis seperti stres, tekanan emosional, dan rendahnya kontrol diri juga turut berkontribusi terhadap berkembangnya kecanduan. Tidak hanya itu, pengaruh lingkungan sosial yang kurang mendukung dapat memperparah kecanduan pada individu tertentu. Dampak dari kecanduan dapat bersifat luas dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik dari segi fisik, psikologis, maupun sosial. Choi et al. (2009) meneliti hubungan antara kecanduan internet dan gangguan tidur pada remaja, menemukan bahwa penggunaan internet yang berlebihan dapat menyebabkan kelelahan yang signifikan di siang hari serta penurunan performa akademik dan sosial.

Upaya untuk mengurangi kecanduan memerlukan pendekatan yang komprehensif yang mencakup berbagai aspek kehidupan individu. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah pendekatan kognitif-perilaku yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang maladaptif terkait dengan perilaku adiktif. Selain itu, pengaturan waktu penggunaan aktivitas yang memicu kecanduan secara disiplin dapat membantu mengurangi frekuensi serta intensitas keterlibatan dalam aktivitas tersebut. Dukungan dari keluarga dan teman juga memiliki peran penting dalam proses pemulihan, karena lingkungan yang mendukung dapat meningkatkan motivasi individu untuk berubah. Intervensi di tempat kerja juga merupakan langkah yang dapat diambil untuk membantu individu mengatasi kecanduan internet dan meningkatkan produktivitas mereka sebagaimana yang disarankan oleh Tehrani (2010). Konsultasi dengan profesional seperti psikolog atau konselor juga dapat menjadi solusi yang efektif dalam menemukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi individu.

Dengan pendekatan yang holistik dan berbasis penelitian, individu yang mengalami kecanduan diharapkan dapat menemukan cara untuk mengurangi dampaknya serta meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Bakken, I. J., Wenzel, H. G., Götestam, K. G., Johansson, A., & Øren, A. (2009). Internet addiction among Norwegian adults: A stratified probability sample study. Scandinavian Journal of Psychology, 50(2), 121–127. doi:10.1111/j.1467-9450.2008.00685.x

Choi, K., Son, H., Park, M., Han, J., Kim, K., Lee, B., & Gwak, H. (2009). Internet overuse and excessive daytime sleepiness in adolescents. Psychiatry and Clinical Neurosciences, 63(4), 455–462. doi:10.1111/j.1440-1819.2009.01925.x

Johansson, A., & Götestam, K. G. (2004). Internet addiction: Characteristics of a questionnaire and prevalence in Norwegian youth (12–18 years). Scandinavian Journal of Psychology, 45(3), 223–229. doi:10.1111/j.1467-9450.2004.00398.x

Tehrani, N. (2010). Internet Addiction and the Workplace. In Contemporary Occupational Health Psychology (pp. 234–252). doi:10.1002/9780470661550.ch12

Jatuh Cinta Sendirian

25 January 2025 23:11:47 Dibaca : 25

Fenomena jatuh cinta sendirian, atau dikenal sebagai unrequited love, merupakan pengalaman emosional yang sering kali menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang signifikan. Dalam konteks psikologi dan filsafat, konsep ini dapat dianalisis melalui berbagai sudut pandang, termasuk pemahaman mengenai harapan, penerimaan, dan ketahanan emosional individu.

Menurut Protasi (2016), mencintai seseorang yang tidak memiliki perasaan yang sama merupakan tantangan yang kompleks, karena cinta yang ideal seharusnya melibatkan timbal balik dan penghargaan terhadap identitas masing-masing individu. Ketika seseorang mencintai tanpa balasan, hal ini dapat mengarah pada perasaan rendah diri, ketidakpuasan, dan dalam beberapa kasus, obsesi yang tidak sehat. Protasi menekankan pentingnya memahami bahwa mencintai seseorang yang tidak membalas perasaan tersebut bukanlah suatu kegagalan, melainkan bagian dari pengalaman manusiawi yang kompleks. Lebih lanjut, Klein (1992) dalam studinya tentang The Enemies of Love, menjelaskan bahwa cinta yang tidak terbalas sering kali disebabkan oleh hambatan internal seperti rasa takut akan penolakan atau ketidakmampuan individu dalam mengekspresikan emosi dengan jujur. Faktor-faktor ini berkontribusi pada munculnya persepsi bahwa cinta tersebut merupakan bentuk kesetiaan, meskipun kenyataannya lebih cenderung mencerminkan ketidakmampuan individu untuk melepaskan diri dari harapan yang tidak realistis.

Dalam perspektif komunikasi interpersonal, Ellis (2012) menyoroti bahwa kata-kata yang digunakan dalam mengekspresikan cinta memiliki peran penting dalam menentukan arah hubungan. Ellis berpendapat bahwa kegagalan dalam komunikasi yang efektif dapat memperkuat perasaan jatuh cinta sendirian, karena individu cenderung salah menafsirkan tanda-tanda dan harapan yang ada. Hal ini memperkuat pentingnya keterbukaan dan kejelasan dalam membangun hubungan yang sehat. Dari sudut pandang yang lebih filosofis, O’Shea (2018) menyamakan cinta dengan lagu-lagu cinta yang sering kali menggambarkan pengalaman emosional manusia secara simbolis. Ia berpendapat bahwa cinta yang tidak terbalas adalah bagian dari perjalanan emosional yang memberikan makna terhadap kehidupan, meskipun sering kali disertai dengan kesedihan dan kekecewaan. Hal ini menegaskan bahwa pengalaman jatuh cinta sendirian dapat menjadi sumber pertumbuhan pribadi jika dihadapi dengan refleksi yang mendalam.

Sebagai kesimpulan, Bryant (2010) mengemukakan bahwa dalam dunia yang dipenuhi ketakutan dan ketidakpastian, mencintai tanpa syarat adalah sebuah keberanian yang patut diapresiasi. Meskipun cinta yang tidak terbalas dapat menimbulkan rasa sakit, hal ini juga dapat menjadi peluang untuk memperkuat ketahanan emosional dan membangun pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Dengan demikian, fenomena jatuh cinta sendirian perlu dipahami dari berbagai perspektif baik psikologis, filosofis, maupun interpersonal—guna membantu individu dalam mengelola emosi dan harapan mereka secara lebih realistis dan sehat.